Jakarta – Kenaikan harga LPG non-subsidi berturut-turut dalam tiga bulan terakhir, November 2021, Desember 2021, dan Februari 2022, dikhawatirkan anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, akan mengakibatkan kelangkaan gas melon 3 kg.
Sebab, kata Mulyanto, pelanggan yang tadinya menggunakan LPG non subsidi diperkirakan beralih membeli LPG gas melon tiga kg bersubsidi.
Dan kalau ini terjadi, imbuhnya, maka gas melon tiga kg dapat mengalami kelangkaan yang mengakibatkan harga di tingkat pelanggan melebihi HET (harga eceran tertinggi).
“Hal tersebut sangat mungkin terjadi. Sekarang ini saja sekitar 12 juta pelanggan gas melon 3 kg adalah mereka yang tidak berhak,” tambah Mulyanto.
Mulyanto menambahkan, pandemi COVID-19 ini belum pulih. Omicron masih tinggi dan ekonomi masyarakat masih tertatih-tatih. Ketika mendapat tekanan harga, pelanggan LPG non-subsidi ini akan mencari jalan keluarnya sendiri yaitu membeli LPG bersubsidi yang lebih murah.
Hal ini dimungkinkan, karena distribusi gas melon tiga kg masih bersifat terbuka. Dijual bebas dengan pengawasan Pemerintah yang sangat minim. Semua orang dapat membeli secara mudah LPG bersubsidi di agen, pangkalan atau warung-warung.
“Tidak ada pembatasan khusus. Karenanya LPG bersubsidi ini terbuka untuk dibeli oleh pelanggan yang selama ini menggunakan LPG non-subsidi,” ujar Mulyanto.
Mulyanto mendesak Pemerintah meninjau ulang kebijakan yang memberatkan masyarakat tersebut.
“Harga LPG non-subsidi ini tidak mesti naik, karena kenaikan defisit transaksi berjalan sektor migas, akibat melonjaknya harga migas dunia, sebenarnya dapat dikompensasi dari penerimaan ekspor komoditas energi lainnya seperti: batu bara, gas alam dan CPO yang harganya juga melejit menuai wind fall profit,” jelas Mulyanto.
Sebagai contoh, lanjutnya, penerimaan negara dari ekspor batubara dan CPO pada tahun 2021 sebesar USD 55 milyar. Sementara defisit transaksi berjalan sektor migas, karena impor BBM dan LPG, pada tahun 2021 hanya sebesar USD 13 milyar.
“Karenanya, kenaikan penerimaan ekspor batubara dan CPO mestinya dapat mengkompensasi kenaikan defisit transaksi dari impor migas,” pungkasnya.
Jadi, menurut Mulyanto, melonjaknya harga energi dunia, tidak otomatis harus diikuti dengan kebijakan kenaikan harga BBM dan LPG domestik.
Mulyanto juga meminta Pemerintah untuk mengembangkan berbagai opsi kebijakan yang inovatif, yang tidak memicu inflasi dan membebani rakyat di saat pandemi Covid-19 yang belum usai ini.
“Misalnya dalam jangka pendek, substitusi LPG dapat dilakukan dengan kompor listrik atau gas alam, apalagi kalau gas alam ini dijual dalam bentuk tabung. Juga peningkatan eksplorasi dan produksi migas di lapangan eksisting, karena dengan harga yang tinggi investasi migas menjadi semakin kondusif. Termasuk juga gerakan penghematan penggunaan LPG,” tutup Mulyanto. (MUS-MNC Trijaya)