Pilkada 2024, Mantan Terpidana Mililki Hak Sama untuk Dipilih sebagai Cakada

0

Jakarta – Hiruk pikuk kontroversi perihal calon dengan latar belakang “mantan terpidana” dianggap mengangkangi keluhuran  prosesi demokrasi. Segelintir berpekik bahwa status mantan terpidana ibarat corak warna yang kontras pada lukisan demokrasi. Bukankah pemilu/kada ialah mekanisme politik untuk menjaring tokoh yang ideal mengemban daulat rakyat.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 60 yang membuka peluang Pilkada lebih fleksibel dan partisipatif serta penegasan batasan usia Cakada. Dilain sisi, Putusan MK yang berkaitan dengan hak dipilih warga negara yang berstatus mantan terpidana juga mengalami biduk perjalanan yang cukup Panjang.

Praktisi Hukum Jamal Aslan,menilai sikap Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap calon kepala daerah (Cakada) mantan narapidana, nampaknya berkesusian dengan beberapa tujuan pemidanaan.

“Seseorang yang telah menjalani masa pidananya bukan berarti mewarisi secara terus-menerus perbuatan pidananya. Penjatuhan pidana serta pemenuhanya oleh pelaku tindak pidana mesti dipandang sebagai upaya korektif atau rehabilitasi,” ujar Jamal yang juga Mahasiswa Doctoral Universitas Hasanuddin kepada Media, Jakarta, Rabu (25/9).

Jamal mengatakan,  seyogyanya setiap pelaku tindak pidana yang selesai menjalani hukuman haruslah dianggap telah menuntaskan kewajiban hukumnya yang termuat pula upaya untuk memperbaiki integritasnya menjadi pribadi yang menyadari dan tidak akan mengulangi kejahatanya kembali.

“Olehnya, dengan mengakui hak dipilih sebagai entitas hak konstitusional, maka sungguhlah tidak kontekstual jika status narapidana mendistorsi kelayakan seseorang untuk mengikut-sertakan dirinya dalam konteks electoral,” tuturnya,

Mwnurut  Jamal, Atas dasar hukum, mantan terpidana telah menjalani penghukuman dan karenanya dengan paradigma pemidanaan sebagai obat, maka hak mantan narapidana mestinya diposisikan secara proporsional sebagai bentuk kesadaran hukum public.

“Memang benar, pemilu maupun pilkada bukan tempat untuk memilih manusia berjiwa malaikat sebab tidak ada manusia yang seutuhnya benar sepanjang hayat. Olehnya, Frans Magnis Suseno berpendapat bahwa Pemilu (pilkada) bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi mencegah yang buruk berkuasa,” imbuhnya.

Jamal menambahkan Pilkada yang adil ialah pilkada yang tidak men-stigma negative secara berkepanjangan, tetapi bagaimana mengakui hak hukum seseorang.

“Membuka peluang electoral sebagai konsistensi pemenuhan hak konstitusonal sekaligus membangun dialektika berkemanusiaan sebagaimana prinsip demokrasi yang sehat,” pungkasnya.(AKM/MNCTrijaya)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here