Pemerintah Diminta Tidak Langsung Berlakukan BPJS Sebagai Syarat Pelayanan Publik

0
Staf BPJS Kesehatan Kediri, Jawa Timur dalam sosialisasi di sebuah ajang pameran.(Foto: Humas BPJS Kesehatan)

Ombudsman meminta pemerintah tidak terburu-buru memberlakukan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat mengakses pelayanan publik.

Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan pemerintah perlu mengoptimalkan pembenahan internal sebelum memberlakukan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat mengakses pelayanan publik. Hal ini sesuai dengan Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Ombudsman mencatat sejumlah pekerjaan rumah pemerintah yang belum selesai antara lain memastikan anggaran untuk penerima bantuan iuran (PBI) dan memverifikasi data kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional. Namun, berdasarkan pantauan Ombudsman, Kementerian Agraria telah memberlakukan persyaratan kepesertaan BPJS Kesehatan dalam pendaftaran dan peralihan hak atas tanah.

“Jadi pastikan dulu, internal pemerintah. Sosialisasi sudah masif belum, sinergi, edukasi dan sebagainya baik di internal pemerintah maupun perusahaan yang wajib mendaftarkan atau membayarkan iuran,” jelas Endi Jaweng secara daring, Jumat (11/3/2022).

Konter BPJS Kesehatan di Mal Layanan Publik, Sumedang, Jawa Barat. (Foto: Humas BPJS Kesehatan).jpg
Konter BPJS Kesehatan di Mal Layanan Publik, Sumedang, Jawa Barat. (Foto: Humas BPJS Kesehatan).jpg
 

Endi Jaweng mengingatkan bahwa pelayanan publik merupakan hak konstitusional warga negara dan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Karena itu, kata dia, perlu aturan setingkat undang-undang atau setidaknya peraturan pemerintah jika ada syarat tambahan kepesertaan BPJS.

Ia khawatir persyaratan akses pelayanan publik ini akan memunculkan persyaratan baru sebagai diskresi pemerintah pusat dan pemerintah daerah apabila tidak dilakukan sesuai prosedur pembentukan kebijakan publik.

“Bisa saja nanti ada menteri atau kepala daerah yang menjadikan produk mereka sebagai syarat pelayanan publik. Ini akan semakin membebani masyarakat,” tambahnya.

Asisten Deputi bidang Koordinasi Pelaksanaan, Kebijakan, dan Evaluasi Pelayanan Publik Wilayah II Kementerian PANRB Jeffrey Erlan Muller menerima masukan yang disampaikan Ombudsman. Ia menyebut prinsip pelayanan publik dapat dilakukan dengan cepat, mudah, murah, dan sederhana. Karena itu, ia sependapat dengan Ombudsman bahwa perlu pembicaraan kembali terkait persyaratan kepesertaan BPJS dalam mengakses pelayanan publik.

Loket pendaftaran BPJS Kesehatan hingga ke daerah-daerah terpencil untuk memaksimalkan layanan. (Foto: Humas BPJS Kesehatan)
Loket pendaftaran BPJS Kesehatan hingga ke daerah-daerah terpencil untuk memaksimalkan layanan. (Foto: Humas BPJS Kesehatan)

“Idenya baik, namun kami melihat terlalu cepat. Seharusnya ada komunikasi yang baik di antara pemerintah kepada stakeholder internal maupun eksternal pemerintah,” jelas Erlan Muller.

Erlan berpendapat persyaratan kepesertaan BPJS sebaiknya tidak digunakan untuk semua akses pelayanan publik. Namun, untuk hal-hal tertentu seperti pelayanan kesehatan.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Salah satu yang melatarbelakangi penerbitan Inpres ini yaitu target kepesertaan JKN-Kartu Indonesia Sehat yang dicanangkan pemerintah dalam RPJMN 2019-2024 yaitu 98 persen penduduk Indonesia. Sedangkan jumlah kepesertaan JKN per 31 Januari 2022 yaitu sebesar 236.279.275 jiwa atau sebesar 86,27 persen. Ini berarti masih ada sebanyak 37.600.475 jiwa atau sebesar 13,73 persen penduduk yang belum menjadi peserta JKN. [sm/ab]

Sumber: Sasmito Madrim/VOA Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here