Kendari – Bencana bertubi-tubi menerpa Indonesia, mulai dari banjir, erupsi gunung berapi, gempa bumi hingga tsunami. Akibat bencana tersebut, banyak warga yang menjadi korban, mulai dari kehilangan harta benda, tempat tinggal, pekerjaan, sumber penghidupan, sampai korban nyawa. Demikian pula fasilitas sosial dan fasilitas umum turut rusak akibat bencana alam.
Secara umum, siklus bencana alam disusun dalam tiga skenario besar, yakni sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana dan pasca bencana. Untuk menjamin skenario ini berjalan baik, tentu dibutuhkan dukungan finansial yang besar. Baik untuk keperluan sebelum bencana itu datang, saat bencana terjadi, antisipasi penyakit yang kerap muncul dalam masa pengungsian; kebutuhan sehari-hari pengungsi; tempat tinggal sementara; bantuan rehabilitasi psikologis, terutama untuk korban yang rentan, yakni anak-anak dan orang tua; maupun untuk membangun kembali berbagai jenis infrastruktur yang rusak.
UNDRR, organisasi PBB untuk pengurangan risiko bencana dalam pertemuan Global Platform yang diselenggarakan pada tahun 2011, menyampaikan bahwa investasi 1 USD untuk pengurangan risiko bencana akan menyelematkan 7 USD saat terjadi bencana. Artinya bahwa upaya pendanaan untuk pengurangan risiko bencana merupakan langkah strategis bagi setiap negara yang memiliki ancaman bencana seperti Indonesia.
Investasi selain dalam bidang struktur, membangun kesadaran masyarakat juga menjadi kunci yang sangat penting dalam upaya membangun kesiapsiagaan masyarakat. Tentu dalam membangun kesadaran masyarakat membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri. Termasuk partisipasi dalam memberikan laporan dari lapangan, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki potensi risiko bencana yang cukup tinggi.
Seperti kita ketahui bahwa, wilayah Indonesia merupakan wilayah cincin api, dikelilingi oleh gunung api aktif dan juga dilalui oleh sesar aktif. Kondisi ini tentu menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki ancaman bencana hampir di setiap wilayahnya. Sehingga dibutuhkan keterlibatan masyarakatnya yang sangat mumpuni untuk membangun kesiapsiagaan. Seperti dalam pidato yang disampaikan oleh Kepala Negara, Presiden Joko Widodo, bahwa penguatan lokal merupakan salah
satu strategi yang dapat dikembangkan, berdasakan pengalaman Indonesia dalam menangani pandemic Covid19 yang terjadi kemarin.
Media, merupakan aktor penting dalam proses membangun kesadaran masyarakat terhadap upayaupaya pengurangan risiko bencana serta membangun kesadaran masyarakat akan ancaman yang ada di wilayahnya masing-masing. Tetapi ada banyak media yang masih mengandalkan pemberitaan di saat bencana terjadi, bahkan menjadikannya single moment, bahwa bencana tidak ada kaitannya dengan isu-isu lain, baik isu SOGs atau isu-isu pembangunan lainnya, bahkan beberapa LSM mencermati soal bencana ekologis, dimana management pemanfaatan sumber daya alam yang dianggap ceroboh dapat mendatangkan petaka bagi masyarakat.
Pemerintah, dalam hal ini adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banyak melakukan Upaya edukasi melalui berbagai platform media. Pekerja media memiliki peran yang sangat strategis, untuk mengedukasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat, tentang isu bencana, lingkungan dan isu global lainnya.
Mengingat pentingnya membangun kesadaran pekerja media sebagai jejaring informasi untuk penyadaran upaya pengurangan risiko bencana, disisi lain pentingnya memperkuat komunitas di tingkat lokal, termasuk edukasi, pelibatan dan juga merespon bencana yang semakin meningkatkan eskalasinya, maka di bulan PRB yang akan diadakan di Kendari, Sulawesi Tenggara, Skala Indonesia bekerjasama dengan GreenPress, Sheep, Pucen, Yappika-AtionAid dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), akan mengadakan workshop dengan tema “Mencari Peran Jurnalis untuk Pengurangan Risiko Bencana dan Memeningkatkan Peran Masyarakat di Tingkat Lokal Dalam Merespon Bencana”, sekaligus launching Forum LokaNusa. **