Jakarta – Pemerintah melalui Sekretariat Kabinet telah melansir kenaikan tarif PPN 10% menjadi 11% sesuai dengan amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tarif PPN sesuai UU HPP menjadi 11% akan berlaku pada 1 April 2022.
Menanggapi hal ini, anggota komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati mengingatkan pada saat pembahasan RUU KUP yang pada akhirnya ditetapkan sebagai UU HPP, PKS menjadi satu-satunya Fraksi di DPR yang menolak disahkannya UU ini. Salah satu poin penolakan FPKS adalah terkait kenaikan PPN.
“Fraksi PKS tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 11% yang akan diberlakukan mulai 1 April 2022, dan 12% berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025. PKS juga mendorong agar tarif Pajak Pertambahan Nilai setinggi-tingginya tetap 10% (sepuluh persen)”, ujar Anis, Jakarta, Minggu (26/3).
Wakil ketua Badan Akuntabilitas dan Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menyatakan pandangannya, “Menurut saya, kenaikkan tarif PPN akan kontra produktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional,” kata Anis. Pasalnya, sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat, dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri.
“Artinya, kenaikkan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional”, tegas Anis yang juga menjabat sebagai Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini
Lebih lanjut, politisi senior PKS ini menegaskan bahwa PPN merupakan jenis pajak objektif, artinya jenis pajak ini tidak memandang status Wajib Pajak melainkan hanya melihat objek ataupun barang yang berkaitan dengan transaksi antara penjual dan pembeli. Jenis pajak ini merupakan jenis pajak yang paling sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari karena menyangkut konsumsi barang dan jasa.
“Karena pembebanannya ditanggung oleh pengguna akhir dalam hal ini konsumen, tentu ini akan memberikan tekanan pada kemampuan daya beli masyarakat,” papar Anis.
Anis menilai, kondisi masyarakat saat ini masih sangat rentan. Apalagi ditambah dengan naiknya kebutuhan pokok, sampai kasus mahalnya minyak goreng yang menjadi momok bagi ibu-ibu. Kondisi perekonomian terutama konsumsi rumah tangga belum pulih ke kondisi normal seperti sebelum adanya pandemi. Apalagi menjelang Ramadhan dan Idul Fitri yang sudah menjadi siklus tahunan terjadinya lonjakan kenaikan harga.
“Ini harus menjadi catatan dan peringatan bagi Pemerintah. Satu sisi dengan kenaikan tarif PPN ini mungkin akan bisa menambal defisit yang ada, tapi perlu saya tegaskan bahwa kenaikan tarif PPN jangan sampai kembali melukai dan menambah beban bagi masyarakat yang masih tertatih dan belum pulih dari kondisi terpuruknya ekonomi akibat pandemi,” tutupnya. (AKM-MNC Trijaya)