Kembangkan Sawit di Kab. Muna, Ketum SPKS Minta Perusahaan Sawit Perkuat Kemitraan Dengan Petani

0

Kendari – Dampak negatif dari pengembangan sawit seringkali kita temui di wilayah Indonesia lainnya, seperti permasalahan ilegalitas, konflik sosial dan konflik agraria serta dampak lingkungan. Persoalan semacam itu seharuanya tidak terulang dan menjadi pembelajaran bagi Pemerintah daerah Kabupaten Muna dan perusahan sawit. Selain itu, pngembangan industri sawit nasional diharapkan mulai bertransformasi yang berbasis pada perkebunan sawit rakyat, Dimana rakyat mengelola kebun dan perusahan mengelola Pabrik Kelapa Sawit (PKS) melalui pola kemitran yang adil dan menguntungkan dua belah pihak.

Sabarudin, Ketua Umum (Ketum) Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menilai pengembangan sawit di wilayah Kabupaten Muna perlu dilaksanakan dengan tata kelola yang baik, transparan dan berkelanjutan. menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengembangan sawit di Kabupaten Muna seperti yang di lakukan oleh PT Krida Agrisawita. Pengembangan dilakukan di 9 Kecamatan yaitu Kecamatan Bone, Marobo, Kabangka, Kabawo, Parigi, Tongkuno, Tongkuno Selayan, Napabalono dan Lasalepa.

Menurut Sabarudin, kepatuhan perusahaan terhadap pemenuhan aspek legalitas harus dilakukan secara transparan dengan prosedur yang legal. Mulai dari kesesuaian tata ruang wilayah untuk pengembangan budidaya sawit, perizinan berusaha, termasuk penilaian terhadap AMDAL, pemberian hak atas tanah dan kepatuhan terhadap kewajiban perusahaan pemegang hak atas tanah tersebut terhadap hak-hak masyarakat sekitar.

Perusahaan yang melakukan investasi dibidang perkebunan sawit haruslah memiliki AMDAL, perizinan berusaha dan hak atas tanah, baru dapat beroperasi, bukan sebaliknya. Selain karena standar prosedur yg legal, hal tersebut untuk mencegah terjadinya konflik sosial dan konflik pertanahan dengan masyarakat dikemudian hari, kata Sabarudin

Pengurusan hak atas tanah perusahaan yang mencakup tanah masyarakat adat harus melalui prosedur pengalihan hak atas tanah yang legal dengan manjalankan prinsip FPIC yang menyeluruh bagi masyarakat adat. Pengalihan hak atas tanah untuk perkebunan sawit bukanlah melalui proses ganti rugi sebagaimana pengadaan tanah untuk pembangunan untuk kepentingan umum, melainkan proses jual beli tanpa ada paksaan dan intimidasi dari pihak lain. Masyarakat menentukan sendiri keputusan mereka untuk menjual atau tidak atas tanahnya, termasuk dalam menentukan harga.

Dalam pengurusan hak atas tanah, menurut Sabarudin, perusahaan wajib menyediakan lahan untuk pembangunan kebun masyarakat sekitar (FPKMS) sebesar 20% lahan yang bersumber dari pelepasan kawasan hutan atau APL dalam proses permohonan HGU. Aturan FPKMS 20% tidak dimaknai lahan dari masyarakat.

Dalam konteks pembangunan FPKMS, masyarakat juga diberikan ruang kebebasan untuk menentukan pola kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan kebun tersebut dengan perusahaan mitra. Tidak selalu dan sebaiknya mengindari pengelolaan dalam manajemen satu atap, yang kerap menimbulkan konflik serta nir transparansi.

Pengelolaan dalam satu manajemen perusahaan atau dikenal manajemen satu atap kerap kali menempatkan petani plasma atau masyarakat sekitar sebagai buruh, bahkan menjadi penonton, karena tidak ada kejelasan pembagian peran dalam pengelolaan lahan. Pengelolaan seluruhnya dilakukan Perusahaan inti. Termasuk makin lemahnya fungsi kelembagaan tani atau koperasi dalam manajemen pengelolaan lahan.

Kerjasama seperti ini, di berbagai wilayah justru menihilkan tanggung jawab sosial perusahaan untuk melakukan pemberdayaan kepada petani dan masyarakat sekitar. Padahal idealnya, kemitraan dibangun agar terjadinya transfer pengetahuan maupun teknologi kepada petani maupun masyarakat sekitar.

Kewajiban perusahaan lainnya adalah membangun kemitraan usaha perkebunan dengan masyarakat sekitar atau petani sawit swadaya, dapat berupa kemitraan dalam jual beli hasil produksi, kemitraan penyediaan bibit atau pupuk dan bentuk kemitraan lainnya.

Dua kewajiban perusahaan tersebut, dalam praktiknya seringkali diartikan sama, padahal merupakan dua norma hukum berbeda yang wajib dipenuhi perusahaan untuk memperoleh HGU.

Kemitraan usaha perkebunan tidak selalu dalam bentuk pengelolaan lahan, yang justru menciptakan ketergantungan petani dan masyarakat pada perusahaan. Karena itu, diperlukan peranan pemerintah daerah dalam memfasilitasi kemitraan usaha perkebunan, agar dibangun menurut kebutuhan masyarakat atau petani swadaya untuk menciptakan kerjasama yang fair dan saling menguntungkan.

Kemitraan jual beli hasil produksi antara perusahaan dengan petani swadaya melalui kelembagaan tani/koperasi harus menjadi prioritas. Sehingga hasil produksi dari perkebunan sawit rakyat masuk dalam rantai pasok minyak sawit perusahaan baik untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Hal ini juga selaras dengan kebutuhan traceability di level pabrik. Kemitraan seperti ini juga penting untuk menghindari rantai suplai yang panjang di level petani swadaya serta menciptakan harga TBS kelapa sawit yang lebih menguntungkan, dibandingkan melalui perantara atau middleman.

Untuk menciptakan ekosistem tersebut, maka intervensi terhadap penguatan sawit rakyat diperlukan melalui peranan pemerintah, perusahaan dan stakeholder lain untuk memfasilitasi kebutuhan petani, mulai dari aspek pendataan dan pemetaan lahan, legalitas usaha, kelembagaan tani dan kapasitas SDM. Berbagai aspek tersebut merupakan bagian dari menciptakan tata kelola sawit rakyat yang berkelanjutan.

Hal ini juga di dukung dalam berbagai kebijakan pemerintah saat ini, seperti kebijakan mandatori ISPO dan Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan yang saat ini diganti dengan Strategi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Sabarudin juga menekankan peranan Pemerintah Daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan serta evaluasi terhadap pengembangan sawit oleh pelaku usaha di wilayahnya. Hal ini dapat dilakukan melalui instrumen penilaian usaha perkebunan secara berkala dan memberikan evaluasi serta penegakan hukum bagi pelaku usaha yang melanggar. Dalam konteks pengawasan, penting dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat.

Tantangan lain yang harus menjadi perhatian pemerintah, termasuk pemerintah daerah saat ini adalah memastikan pengembangan sawit di wilayahnya memperhatikan berbagai pendekatan berkelanjutan yang diadopsi oleh pasar saat ini termasuk kewajiban mandatori ISPO. Hal ini untuk memastikan investasi sawit di wilayahnya dapat diterima di pasar ekspor. (Rls)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here