Subvarian omicron BA.4 dan BA.5 kembali menyebabkan kenaikan kasus COVID-19 di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Timbul pertanyaan apakah pemberian dosis keempat vaksin COVID-19 dibutuhkan sebagai proteksi?
JAKARTA (VOA) — Setelah kasus COVID-19 sempat turun, kini angkanya perlahan mulai merangkak naik akibat dari subvarian omicron BA.4 dan BA.5 yang pertama kali terdeteksi di Indonesia pada 6 Juni.
Dengan berbagai kemunculan varian atau subvarian dari COVID-19 tersebut sejumlah pihak menyarankan agar masyarakat segera diberikankan vaksinasi dosis keempat. Namun, apakah pemberian booster kedua ini sangat mendesak?
Ketua Kelompok Penasihat Teknis Indonesia Tentang Imunisasi/ Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Sri Rezeki Hadinegoro mengungkapkan Indonesia saat ini masih fokus untuk mengejar capaian vaksinasi dosis ketiga atau booster hingga 70 persen.
Menurutnya, ini strategi yang cukup baik agar cakupan vaksinasi COVID-19 dapat merata di seluruh kalangan masyarakat, terutama masyarakat rentan yakni lansia, dan yang mempunyai penyakit bawaan atau komorbid.
“Jadi kita sekarang masih konsetrasi pada meningkatkan yang vaksinasi ketiga. Kalau dosis keempat di luar negeri itu diberikan karena sudah mencakup 70 persen untuk yang ketiga, makanya mereka lanjut ke yang empat,” katanya kepada VOA.
Jika pemerintah memaksa untuk melakukan vaksinasi dosis keempat, padahal ada pihak yang belum mendapatkan vaksin COVID-19 sama sekali, menurut Sri Rezeki, malah bisa membahayakan.
Lebih jauh Sri menjelaskan, apabila cakupan vaksinasi dosis ketiga sudah mencapai 70 persen dari target populasi, maka akan diteliti lebih lanjut apakah memang pemberian dosis keempat tersebut diperlukan atau tidak. Masing-masing negara, ujarnya, udah pasti memiliki keadaan epidemiologi yang berbeda-beda. Maka dari itu, kebijakan dan penanganannya pun dipastikan akan berbeda satu sama lain.
“Kita memberikan strategi imunisasi tergantung dari keadaan epidemiologi, tergantung keadaan penyakit itu di suatu negara. Negara kita katakanlah dibandingkan dengan Singapura saja sudah beda, jadi tiap negara tentu mempunyai strategi tersendiri, kita tidak bisa mengikuti orang lain, tetapi panduan umum oleh WHO, itu yang kita pakai” jelasnya.
Puncak Kasus Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan kasus COVID-19 di Tanah Air dipastikan akan naik akibat perebakan BA.4 dan BA.5 ini, di mana angkanya saat ini sudah mencapai sekitar 1.000 kasus per hari. Ia pun memprediksi puncak kasus di Indonesia akan berada pada kisaran 20 ribu kasus per harinya nanti yang akan terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3 pada Juli.
“Kita amati di Afrika Selatan sebagai negara pertama yang muncul BA.4 dan BA.5 masuk puncaknya itu 1/3 dari puncaknya omicron atau delta sebelumnya. Jadi kalau kita delta dan omicron puncak kasusnya di 60 ribu kasus per hari, kira-kira nanti estimasi berdasarkan data di Afrika Selatan mungkin puncaknya kita di 20 ribu kasus per hari, karena kita penah sampai di 60 ribu kasus per hari paling tinggi,” ungkap Budi.
Meski begitu, berdasarkan data di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kematian yang diakibatkan oleh kedua subvarian siluman omicron tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan varian delta dan omicron sebelumnya, yakni kira-kira 1/12 atau 1/10 dari delta dan omicron. Meski begitu, masyarakat tetap diimbau untuk menerapkan protokol kesehatan terutama pemakaian masker dan segera mendapatkan vaksinasi hingga dosis ketiga atau booster bagi yang belum mendapatkannya.
“Level satu transmisi WHO itu 20 kasus per 100 ribu penduduk per hari, atau kalau di translate untuk penduduk Indonesia sekitar 7.700 per hari, yang itu adalah level threshold petama di mana level transmisi berdasarkan WHO Indonesia akan naik ke level dua. Sekarang kita masih 1.000, jadi kita monitor ketat,” pungkasnya. [VOA Indonesia/Ghita Intan/ah]