Tobacco Atlas melaporkan dalam terbitannya yang ketujuh bahwa pengendalian tembakau membantu menyelamatkan jutaan nyawa, tetapi skala epidemi konsumsi nikotin masih memprihatinkan dan menuntut perhatian dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan terkait secara berkelanjutan.
“Kami punya data Balitbangkes tahun 2017 bahwa total kerugian ekonomi terhadap kesehatan karena rokok, langsung maupun tidak langsung.…itu sebesar 531,8 triliun,” kata Imran.
Beban ekonomi yang demikian besar tidak terlepas dari jumlah perokok yang masih tinggi di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Kiki Soewarso, ketua Bidang Komunikasi dan Media untuk Komite Nasional Penanggulangan Tembakau (Komnas PT), yang juga aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan yang peduli dengan program-program pengendalian tembakau, termasuk Tobacco Control Support Center (TCSC), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan Aliansi Akademi Komunikasi Indonesia untuk Pengendalian Tembakau (AAKIPT); serta di Pusat Studi Literasi Gender dan Kesehatan, LSPR.
Konsumsi rokok terbesar ketiga di dunia
Mengenai prevalensi konsumsi tembakau di Indonesia, Kiki mengatakan dari jumlah perokoknya, Indonesia termasuk ke dalam 10 negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Mengutip data dari Tobacco Atlas tahun 2020, Kiki mengatakan Indonesia menempati urutan ketiga setelah China dan India.
“Jadi ini adalah data terkini negara kita berada di tiga tertinggi jumlah perokoknya di dunia, ini sangat menyedihkan,” ujar Kiki.
Menurut Kiki, sesuai jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia, pada tahun 2006 Indonesia masih menempati posisi kelima, tetapi pada tahun 2018 posisi itu naik ke peringkat kedua setelah China.
Dia menyatakan bahwa dari tahun ke tahun angka itu terus meningkat, baik dari jumlah perokok maupun rokok yang dikonsumsi. Yang semakin menyedihkan adalah, ujar Kiki, jumlah perokok anak yang juga terus meningkat, mengutip laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
“Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika menyangkut anak-anak. Umur mulai merokok semakin muda. Angka riset kesehatan dasar nasional tahun 2018 menunjukkan 77,7% perokok pemula di Indonesia itu sebelum umur 19 tahun. Jadi, selama tahun 2007 sampai 2018 perokok pemula mulai usia 10 sampai 14 tahun meningkat 240%, khusus untuk perokok pemula usia 15 sampai 19 tahun naiknya 140%. Artinya adalah dari angka-angka yang saya sebutkan itu justru mengkhawatirkan, dan memang boleh dibilang Indonesia ini darurat rokok,” keluhnya.
Menyadari tingkat konsumsi tembakau yang begitu tinggi di Indonesia serta beban ekonomi yang diakibatkannya, Imran Agus Nurali, spesialis kedokteran olah raga yang juga memiliki passion pada lingkungan dan pendidijan mengatakan bahwa pemerintah saat ini sedang gencar mengembangkan berbagai metode penanggulangannya. Salah satu cara yang ditempuh, katanya, adalah melalui public-private partnership (kemitraan pemerintah-swasta), sebagai bagian dari program Pentahelix.
“Saat ini kami sedang mengembangkan dan membesarkan Pentahelix, lima unsur kemitraan. Yang pertama unsur pemerintah, mulai dari pusat sampai daerah untuk sektor kesehatan maupun sektor nonkesehatan. Yang kedua unsur pendidikan, termasuk perguruan tinggi, pesantren, termasuk pramuka.”
Kemitraan ketiga, kata ketua harian Saka Bakti Nasional Pramuka di bidang kesehatan itu, adalah “private sector, public-private sector partnership (kemitraan pemerintah-swasta); Sementara yang keempat merupakan unsur organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi profesi, filantropi, LSM, dan yang kelima penting adalah media massa, termasuk media cetak, media elektronik dan juga media digital. “Ya alhamdulillah ini teman-teman kami ajak, cari mitra dan ini bukan hanya untuk masalah rokok, tapi seluruh masalah kesehatan. Dengan bermitra mudah-mudahan kami bisa meminimalisir dampak,” tambahnya.
Dokter Imran setuju bahwa prevalensi konsumsi rokok di Indonesia “memang menyedihkan.” Dia mengatakan keadaan demikian sudah berlangsung lama, dan menurutnya “ini bukan karena salah pendekatan, tetapi mungkin kurang optimal, yang pertama memang dari sisi kasus kesehatan, kemudian berdampak pada pembiayaan.”
Imran menyatakan bahwa dari sisi dampak penyakit yang kita kenal, penyakit tidak menular, misalnya stroke dan sebagainya sudah banyak datanya, tapi yang tidak kalah penting bagaimana kasus tuberkulosis (TBC) di Indonesia masih tinggi, tepatnya tertinggi ketiga di dunia setelah India dan China.
“Jadi ada kaitannya dari sisi kedokteran, bagaimana antara tuberkulosis dan diabetes dengan perilaku merokok ini sebenarnya in line. Biasanya kan orang yang merokok kena diabetes, kemudian penyakitnya lari ke stroke dan sebagainya. Kemudian yang kita khawatirkan perokok muda,” tukasnya.
Iklan rokok elektrik yang menyesatkan
Imran menyatakan kekhawatiran tentang semakin banyaknya perokok muda, terutama terkait konsumsi rokok elektrik. Dia mengaku telah berdiskusi dengan Philip Morris “yang menjadi public enemy” tentang rokok elektrik yang kini beredar luas dan populer di kalangan remaja.
“Rokok elektrik itu sudah banyak di kios-kios dan saya saksikan sendiri di lobi hotel terkenal di Jakarta, ternyata yang membeli itu anak remaja, padahal dari sisi produsennya bilangnya rokok elektrik untuk (konsumen) di atas 18 tahun, orang dewasa. Nah, pengawasannya ini yang menurut saya rasa juga kurang optimal.”
Menurut Imran, rokok elektrik ternyata banyak diiklankan lewat YouTube atau sesama (dari mulut ke mulut), bahwa rokok elektrik itu dampaknya lebih ringan daripada rokok konvensional. Akibatnya, banyak anak muda yang tadinya coba-coba akan kecanduan karena kandungan nikotinnya.
“Data-data ini kita sudah punya. Ternyata setelah mencoba rokok elektrik, dia merasa kurang, dan itu saya saksikan sendiri dari testimoni, merasa kurang menantang akhirnya menjadi perokok konvensional. Ini yang kita khawatirkan awalnya yang akan diiklankan ringan-ringan, akhirnya dia mencoba yang lebih menantang. Sangat menyedihkan.”
Peraturan pemerintah No. 109 tahun 2012
Mengingat prevalensi dan potensi kerugian pada kesehatan, selain kampanye tidak merokok oleh pemerintah bersama lembaga-lembaga swadaya masyarakat, Imran menandaskan bahwa pihaknya kini sedang merevisi suatu regulasi tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
“Dari segi peraturan sekarang kita sedang susun lagi, walaupun kemarin Menkes sudah siap mengajukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 yang waktu itu belum mengenal iklan melalui YouTube, iklan melalui media digital, belum mengenal rokok elektronik. Jadi, sejak tahun 2017 bersama-sama dengan penggiat antirokok dan sektor-sektor kementerian yang pro tidak merokok kita revisi. Jadi kita revisi, tapi kemudian dikembalikan untuk revisi. Istilahnya izin prakarsa Menkes tahun 2021 kemarin dikembalikan. Nah, kami sekarang sedang susun untuk memperbaikinya walaupun waktu itu izin prakarsanya dikembalikan dengan – mohon maaf kalau saya bilang tidak jelas mengenai apa yang harus diperbaiki. Ya sudah, sekarang ini sedang kami susun naskah akademisnya,” ungkapnya.
Program demand creation
Imran mengatakan Kemenkes tidak lelah mengupayakan revisi peraturan pemerintah itu walaupun itu berarti juga melawan “pihak sana” yang besar dari sisi ekonomi. Selain itu, menurutnya ada hal lain yang mungkin agak terlupakan atau terabaikan dan itu adalah edukasi bagi “usia-usia muda.” Pendekatan edukatif ini, kata Imran, bukan sesuatu yang bersifat penyuluhan. “Kami saat ini sedang membangun demand creation, menciptakan rasa butuh sehat dengan tidak merokok. Demand creation ini generik digagas untuk seluruh program kesehatan, termasuk gerakan masyarakat hidup sehat (germas), ANC (antenatal care) dan sebagainya,” tegasnya.
Ditambahkan bahwa yang saat ini sedang bergulir bukan hanya larangan-larangan, tetapi yang juga penting diperlukan pengawasan yang menurutnya selama ini juga kurang kuat. Dia mencontohkan, tidak ada pengawasan tentang siapa saja yang membeli rokok, dan ada anak-anak yang disuruh orang tuanya untuk membeli rokok. “Itu menurut saya yang harus kita optimalkan, pengawasan harus kuat.”
Senada dengan Dokter Imran, Kiki mengkhawatirkan prevalensi konsumsi rokok dengan penyakit tidak menular.
“Banyak orang mengklaim bahwa begitu besar keuntungan dari industri rokok dari sisi pajaknya, dari sisi cukainya, (penyerapan) tenaga kerjanya tapi kita nomor tiga angka penderita TBC di Indonesia setelah China dan India, begitu juga jumlah prevalensi perokok di Indonesia di bawah China dan India. Jangan lupa, kalau orang berbicara soal pemasukan yang disumbangkan soal keuntungannya (dari industri rokok), akibatnya itu lebih besar,” imbuhnya.
Kiki menyatakan dukungan pada Kementerian Kesehatan Untuk disahkannya rancangan perubahan Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 yang sudah tidak relevan lagi.
“Itu adalah payung hukum yang digunakan untuk mengatur pengendalian tembakau di Indonesia sementara sudah tidak relevan karena dulu belum ada rokok elektrik, dulu media digital belum seperti sekarang. Jadi memang perjuangan kami sangat berat untuk pengendalian tembakau yang lebih kuat. Tumpuan harapan kami memang mendampingi dan sangat mendukung adanya kebijakan yang lebih kuat ini.”
Sehubungan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Kiki mengatakan bahwa Komnas Pengendalian Tembakau dan berbagai jaringan antirokok lainnya di Indonesia secara rutin mengadakan berbagai kegiatan untuk menanggulangi epidemi tembakau – terutama pada perokok anak – yang menurut WHO merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat terbesar yang menewaskan lebih dari delapan juta orang setiap tahunnya. Kegiatan itu termasuk penyelenggaraan Indonesian Conference On Tobacco or Health (ICTOH) yang untuk tahun ini merupakan yang ketujuh dan diselenggarakan pada tanggal 30-31 Mei 2022. [lt/uh/Leonard Triyono/VOA Indonesia]