Oleh Sukron Makmun
Intelektual muda NU, Wakil Sekjen PERHATI, dan Pengamat Politik Luar Negeri
Hubungan antar negara tidak jauh beda dengan hubungan sesama manusia. Naik turun dan dinamis. 50 tahun lalu (1972) Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon yang dikenal anti Komunis itu berkunjung ke China. Sontak hubungan yang tadinya beku menjadi cair. Kunjungannya menjadi tanda era baru kemesraan China-AS.
Sebelumnya, ketika partai komunis mulai berkuasa (1949), AS tidak mengakui China. Sejak saat itu hubungan antar keduanya terputus selama dua dasawarsa. Tapi pada akhir 1960an keduanya kembali saling membutuhkan. China yang terisolasi dan terbelakang secara diplomatis, berusaha untuk pulih dari reformasi yang membawa bencana, yang dikenal dengan Revolusi Kebudayaan.
Saat itu, China merasa khawatir tentang kemungkinan serangan yang dilancarkan oleh Uni Soviet, dan AS juga semakin resah dengan tindak-tanduk Soviet. Pada saat yang sama, AS ingin meningkatkan pengaruhnya di kawasan Asia. AS berharap, China dapat membujuk Vietnam Utara. Terbukti, China dapat membantu melapangkan jalan bagi AS untuk keluar dari perang Vietnam yang merusak citranya sebagai negara adi daya.
China dan AS akhirnya secara resmi menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1979. AS mengakhiri 30 tahun pengakuan pemerintah Republik China saingan Chiang Kai-shek di Taipei.
Pada masa Presiden Trump hubungan kedua negara kembali memanas, disebut yang terburuk setelah perang Vietnam. Kerenggangan itu dipicu oleh sikap paranoid dan tudingan Trump bahwa Covid-19 adalah virus buatan China. Tuduhan itu dibalas dengan propaganda yang lebih ganas di dalam negeri China. Namun di akhir kepemimpinannya, ia bertekuk lutut kepada China. Akhirnya AS dan China saling menurunkan tarif, sama-sama berkomitmen mengakhiri perang dagang.
Presiden Joe Biden, meskipun berasal dari Partai Demokrat yang terkenal lunak itu, tidak lantas membuat hubungan China-AS harmonis. Malah sebaliknya, hubungan memanas sejak awal dia berkuasa. Pada acara pelantikannya sebagai presiden, perwakilan Taiwan diundang hadir. Itu diartikan sebagai sikap tidak bersahabat AS terhadap China, sebab bertentangan dengan one China policy, di mana China ingin dunia internasional hanya mengakui satu China yaitu Republik Rakyat China.
Banyak birokrat era Trump yang diminta untuk kembali bergabung dalam kabinet Biden. Tujuannya adalah untuk melanjutkan kebijakan dagang yang telah digagas oleh Trump. Memanasnya hubungan China-AS juga dipicu oleh faktor lain, yaitu keinginan sekutu AS yang menghendaki adanya perimbangan kekuatan global dalam bentuk rivalitas China-AS.
Seharusnya, Biden dapat meneladani semangat perdamaian dan persahabatan yang telah dicontohkan oleh pendahulunya, Nixon. Sebagai presiden saat itu, dia lebih memilih jalur diplomatik untuk kepentingan jangka panjang yang lebih besar. Berinisiatif mengunjungi Mao Zedong, dan dari pertemuan itu, lahirlah komitmen untuk mengakhiri ketegangan yang telah lama terjadi. Pendekatan tersebut terbukti tepat.
Ada pelajaran yang dapat dipetik dari sikap Nixon dan Mao. Keduanya sadar bahwa mereka itu memiliki sistem sosial-ekonomi yang berbeda, tapi mereka tidak memiliki keinginan untuk mengubah satu sama lain. Mereka memilih untuk dialog, saling mendengarkan, dan memahami. Segala bentuk perbedaan dikesampingkan. Hanya fokus pada kerjasama yang membuahkan hasil.
Para elit politik AS maupun China harus ingat, bahwa perdamaian dan stabilitas di tingkat global, itu sangat terkait dengan kebijakan ekonomi dan politik mereka.
Sikap Indonesia terhadap China dan AS
Selama ini hubungan politik Indonesia dengan China baik-baik saja. Begitu juga dengan AS. Indonesia memilih sikap netral, tidak berpihak ke salah satu China ataupun AS. Politik bebas aktif adalah amanah UUD 1945. Kendati AS selalu membangun persepsi ancaman China terutama di kalangan akar rumput muslim Indonesia, pemerintah tetap menjalin hubungan baik dengan China.
Selain hal tersebuti tidak bertentangan dengan UUD, berdasarkan data kredibel, China yang sebelumnya adalah investor nomor buncit, di masa Presiden Jokowi naik menjadi nomor dua terbesar. Semua kerjasama Indonesia-China murni bisnis, tidak terkait politik. Secara teori, ekonomi tidak bisa dipisahkan dari politik domestik, tapi trend saat ini, investor asing tidak terlalu mengutamakan politik. Selagi kerjasama bisa saling menguntungkan (win to win), mereka akan masuk. Hanya cara lama yang selalu mengaitkan politik dan ekonomi.
Pemerintah Indonesia juga sangat menyadari, bahwa sikap elite politik AS terhadap China akan terus bergulir sampai kepentingannya tercapai. Tentunya dengan dukungan proxy yang sama-sama memiliki kepentingan bisnis dan politik di tanah air. Di sisi lain AS sering janji tanpa realisasi.
US-IDFC (United States International Development Finance Corporation) misalnya, menjanjikan banyak hal, tetapi tidak pernah keluar uang sepeser pun selama negosiasi. Karena sikapnya yang tidak pernah jelas itu, Presiden Jokowi terpaksa merestruktur anggaran ibu kota baru yang akan dibangun di pulau Kalimantan.
Selama pemerintah konsisten, Indonesia akan mampu menjadi pemenang dalam konstelasi global, menjadi kunci aktif perdamaian, serta menjadi penyeimbang antara dominasi China dan AS. Pada prinsipnya, Indonesia akan bersahabat dengan siapa saja, tapi dengan catatan, kepentingan nasional menjadi prioritas paling utama.
Presiden Jokowi memiliki cara jitu melobi AS, sehingga sikapnya di Laut China Selatan (LCS) melunak. AS juga dibuat bersedia mendukung kebijakan pemerintah membangun Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Dengan demikian, ketegangan hubungan antara AS dan China di LCS, khususnya perebutan jalur Selat Malaka teratasi tanpa friksi. Melalui poros Jakarta-Abu Dhabi, Indonesia berhasil melunakkan AS tanpa membuat China cemburu.
Ibarat gadis cantik, UEA (Uni Emirat Arab) adalah second home bagi AS, another lady bagi China. Beijing tidak cemburu, sebab Indonesia dan UEA sama-sama terlibat dan mendukung OBOR, sebuah mega proyek yang melibatkan negara-negara Asia yang digagas oleh China.
China adalah mitra strategis komprehensif yang tepat bagi Indonesia untuk perdamaian dan kesejahteraan. Selain secara geografis jaraknya berdekatan, China adalah negara kuat yang tidak ofensif. Berbeda dengan AS yang sering menggunakan kekuatan militernya untuk menghegemoni negara lain.
Dalam sejarah, China teruji tidak pernah menyerang, mengancam atau menekan negara lain agar bersekutu dengannya. Bahkan tidak pernah memaksakan ideologi ekonomi-politiknya. Justru yang sering terjadi, AS cemburu dengan China. Mungkin karena AS terlalu lama menjadi super power. Tiba-tiba dibuat kaget oleh kebangkitan China yang sama sekali di luar skenarionya. China telah dianggap mencemari reputasinya sebagai superior. Semakin AS mudah cemburu, semakin mudah pula dikendalikan oleh China dan Indonesia. (MUS-MNC Trijaya)