Jakarta – Jelang pelaksanaan Pemilu 2024, sejumlah kandidat capres dan cawapres terus bermunculan di tengah masyarakat. Dalam krisis kepemimpinan Indonesia dinilai perlu seorang pemimpin filsuf seperti era Yunani kuno. Hal itu agar pikiran, ide dan gagasannya tidak hanya dinikmati bangsa sendiri, tetapi juga oleh masyarakat global.
“Teknologi sekarang sudah mengancam demokrasi, karena begitu mudahnya membuat orang populer. Sehingga orang populer itu identik dengan pemimpin, padahal banyak racunnya juga. Mereka hanya populer, tetapi nggak bisa memimpin,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah dalam dialog secara daring, Jakarta, Sabtu (7/1).
Menurut Fahri, demokrasi Indonesia saat ini menghadapi dilema, karena orang-orang tidak bermutu lebih populer daripada orang bermutu. Mereka tidak mempunyai pikiran-pikiran besar seperti Bung Karno (Soekarno), tetapi kerjaanya hanya memanipulasi popularitas dengan memanfaatkan kemajuan teknologi agar bisa menang Pemilu.
“Ini ancaman serius, ini tantangan kita. Kita dipaksa menerima fakta bahwa orang-orang tidak bermutu lebih populer, daripada orang bermutu,” katanya.
Sehingga untuk memenangi Pemilu di Indonesia diperlukan strategis khusus agar orang-orang tidak populer yang mempunyai pikiran dan gagasan besar bisa menjadi pemimpin.
“Untuk mengendalikan orang-orang tidak bermutu, kita perlu seorang filsuf seperti dalam demokrasi di Athena, Yunani. Penduduknya cuman puluhan ribu, tetapi para filsufnya mengatakan, bahwa yang memimpin negara itu harus filsuf,” ujar Wakil Ketua DPR Periode 2009-2014 ini.
Para filsuf ini, lanjut Fahri, yang akan mengendalikan pikiran-pikiran besar dalam membangun peradaban Indonesia. Dimana nantinya tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur pemikiran.
Sehingga pemikirannya tidak hanya dinikmati bangsa sendiri, tetapi juga masyarakat global. “Makanya kami ingin filsuf kami, ketua umum kita (Anis Matta) menjadi presiden,” ujarnya.
Dalam pandangan Fahri, Anis Matta seseorang yang memiliki ide yang kuat, mengerti sejarah dan kebudayaan, serta mencintai kesenian. Artinya, dimensi yang diketahui, tidak hanya soal duniawi (dunia), tetapi juga ukharawi (akhirat).
“Anis Matta mengerti betul bagaimana cara kerja negara, cara kerja dunia, cara kerja agama dan cara kerja kebudayaan. Kalau dia jadi presiden bisa menciptakan kesigapan, dan implikasi dari apa yang dia pikirkan itu juga banyak,” katanya.
Diplomasi Kebudayaan
Sementara itu, Ketua Bidang Seni Budaya dan Ekraf Partai Gelora Indonesia, Deddy Mizwar mengatakan, produk budaya dan kesenian Indonesia dapat digunakan sebagai diplomasi ke seluruh dunia melalui diplomasi kebudayaan.
Sebab, keragaman budaya Indonesia sangat besar yang tidak dimiliki negara lain di dunia. Namun, kendalanya selama ini tidak adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah untuk menunjang hal tersebut.
“Materinya ada, elemen untuk mencapai itu ada. Cuma kita belum menggunakan seoptimal mungkin di bidang kebudayaan ini. Kenapa? Salah satunya adalah political will yang belum ada dari pemerintah kita saat ini,” jelas Deddy.
Wakil Sekjem Bidang Komunikasi Organisasi Partai Gelora Deddy Miing Gumelar menambahkan, pemerintah dinilai tidak memahami esensi kebudayaan, dan beranggapan bahwa kebudayaan itu sebagai ‘kerupuk’ dalam hidangan pokok.
“Bagaimana kebudayaan bisa maju kalau kebudayaan dianggap kerupuk di dalam main course. Sementara ada yang mengatakan bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang maju, yang kebudayaannya tidak maju. Pasti. Kalau negaranya itu maju, pasti kebudayaannya juga maju,” tegasnya.
Miing juga mengungkapkan, ketiadaan anggaran pengembangan kebudayaan selama ini, karena pemerintah tidak mempunyai visi yang berkaitan dengan kebudayaan. Sehingga yang berkaitan dengan kebudayaan, nol anggaran.
“Karena mereka (pemerintah) tidak pernah menganggarkan. Karena mereka tidak punya visi dan tidak paham bahwa kita membutuhkan duta-duta kesenian di luar negeri. Itu namanya diplomasi kebudayaan,” tegasnya.
Miing mengusulkan agar pemerintahan yang terbentuk hasil Pemilu 2024 mendatang, agar membentuk Kementerian Kebudayaan tersendiri, tidak digabung dengan Kementerian Pendidikan.
Tetapi kalaupun tetap digabung kementerinnya, maka penamaan nomenklaturnya, kata mantan Anggota Komisi X DPR Periode 2009-2014 ini, nama Kebudayaan harus didepan, baru setelah itu dibelakangnya nama Pendidikan, bukan sebaliknya.
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu instrumennya beda. Justru kebudayaan itu yang bisa menghaluskan budi pekerti anak-anak, baru setelah itu pendidikan. Tapi kalau Partai Gelora menang, kita akan bentuk Kementerian Kebudayaan tersendiri,” kata Miing. (ANP-MNC Trijaya)