Indonesia harus mempunyai regulasi yang melarang semua idiologi yang bertentangan dengan Pancasila. Hal ini untuk mencegah penyebaran paham radikalisme.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Polisi Ahmad Nurwahid dalam kesempatan itu menekankan radikalisme atau ekstremisme adalah paham yang menjiwai semua teroris. Tapi belum tentu semua yang berpaham radikal akan menjadi teroris.
Dia menambahkan terorisme merupakan kejahatan luar biasa, atau bahkan oleh PBB dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. “Di negara-negara konflik itu, terutama di dunia Islam, selalu sebelum terjadi konflik didahului oleh masif dan maraknya paham radikal teroris ini, berkolaborasi dengan pihak-pihak yang anti pemerintah. Kenapa? Ini kan gerakan politik,” kata Nurwahid.
Oleh karena itu, lanjut Nurwahid, mutlak diperlukan kepedulian, peran serta aktif dan produktif semua elemen masyarakat dalam menanggulangi paham radikal, dari hulu hingga hilir. Hilirnya adalah penegakan hukum yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror sebagai eksekutor di bawah koordinasi BNPT.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme, ujarnya, membolehkan tindakan pencegahan, yakni dengan menindak dan menangkap terduga terorisme yang belum melaksanakan aksi teror. Sejak 2018 hingga pertengahan 2022 ini Detasemen Khusus 88 telah menangkap lebih dari 1.400 tersangka teroris untuk mencegah tindakan teror.
Yang menjadi masalah, menurut Nurwahid, adalah hulunya. Pemerintah belum memiliki regulasi untuk melakukan pre-emptive justice, sehingga baru sampai tahap melakukan pendekatan lunak dengan mengingatkan warga akan bahaya paham radikal. Kontra radikalisasi berupa kontra narasi, kontra propaganda, dan kontra ideologi, terutama di dunia maya, belum sepenuhnya berjalan.
Sementara upaya deradikalisasi, yakni usaha untuk mengembalikan mereka yang sudah terpapar radikal menjadi moderat, minimal terkurangi kadar keterpaparannya, belum memberi hasil signifikan. Yang selama ini menjadi objek dari program deradikalisasi adalah mereka yang sudah menjadi tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, dan mantan narapidana.
Nurwahid menegaskan teroris itu sudah pasti radikal, tetapi yang terpapar paham radikal belum tentu menjadi teroris. Ciri orang yang terpengaruh paham radikal adalah anti-Pancasila, berpaham takfiri dengan mengkafirkan orang lain atau mengkafirkan negara, eksklusif dan intoleran terhadap perbedaan serta keberagaman, anti-pemerintah yang sah serta anti-budaya dan kearifan lokal keagamaan.
Pola Perekrutan
Dalam diskusi itu, pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan menjelaskan umumnya orang terpapar radikalisme karena berguru dengan orang yang salah. Salah satu pintu masuk untuk menyebarkan radikalisme adalah dengan menanamkan keyakinan bahwa Pancasila adalah thagut atau berhala. Siapa saja yang meyakini Pancasila berarti belum beriman atau kafir.
Dia menambahkan radikalisme tidak dimonopoli oleh satu agama dan yang terpapar dari beragam kalangan. “Saya pernah menangani anaknya rektor, anaknya kapolda. Bahkan di Bandung itu, di salah satu kampus ada lima dosennya yang teridentifikasi (terpapar radikalisme). Kita laporkan, digrebek di kampus. Jadi ini bisa menimpa siapa saja,” ujar Ken.
Dalam merekrut pengikut, lanjut Ken, kelompok teroris lebih dulu mencari data sasaran, antara lain berupa alamat, kuliah di mana, hobinya apa. Intinya semua informasi mengenai kelebihan dan kelemahan dari target perekrutan sudah mereka kantongi. Biasanya perekrutan itu tidak satu lawan satu. Dia mencontohkan untuk merekrut seorang pria, maka akan didekati oleh lima perempuan cantik yang memiliki hobi yang sama dengan lelaki yang akan direkrut.
Perekrutan tidak dilakukan di masjid atau tempat ibadah, tapi dilaksanakan di tempat-tempat umum, seperti kafe, taman, atau mal. Setelah korban merasa nyaman karena mendapat teman yang sehobi, maka obrolan akhirnya membahas kondisi negara terkini. Dalam merekrut mereka menggunakan ayat-ayat atau sugesti untuk meyakinkan target. Sehingga kalau membantah, maka bisa dicap anti-Islam.
Ken mengatakan doktrin kelompok radikal ada tiga: iman, hijrah, dan jihad. Iman menurut kelompok radikal adalah harus meyakini hukum Allah dan Pancasila bukan hukum Allah. Karena itu, orang Islam harus tinggal di negara yang menerapkan syariat Islam.
Akhir bulan Mei lalu publik dihebohkan dengan beredarnya beberapa video yang memperlihatkan konvoi kendaraan bermotor dengan spanduk-spanduk yang menyerukan kebangkitan khilafah Islamiyah di Cawang, Jakarta Timur.
Di bulan yang sama, mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur (22 tahun) ditangkap Densus 88 Anti Teror karena diduga menjadi simpatisan ISIS . Dia juga diduga berperan sebagai penyebar propaganda ISIS lewat media sosialnya dan juga mengumpulkan dana untuk membantu ISIS di Indonesia. [VOA Indonesia/fw/em]