Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021. Pengamat mempertanyakan imbasnya pada masyarakat.
Menurut Jokowi, predikat WTP akan menjadi landasan bagi pemerintah untuk terus melakukan berbagai perbaikan agar pengelolaan keuangan negara bisa lebih efektif dan inklusif. Ia menekankan penerapan tata kelola keuangan yang baik akan bisa meningkatkan efektivitas, memitigasi risiko sekaligus menodorong pencapaian target dan sasaran program pembangunan
“Predikat WTP bukanlah tujuan akhir. Tujuannya bagaimana kita menggunakan uang rakyat sebaik-baiknya, bagaimana kita mampu mengelola dan memanfaatkannya secara transparan dan akuntable sehingga masyarakat betul-betul merasakannya,” ungkap Jokowi dalam acara penyampaian LHP LKPP 2021 di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (23/6).
Berbagai rekomendasi dan kelemahan yang disampaikan oleh BPK, kata Jokowi, akan ditindaklanjuti sesegera mungkin agar pengelolaan Anggaran, Pendapatan, dan Belanja Negara (APBN) bisa lebih maksimal.
Lebih jauh, Jokowi menuturkan bahwa tantangan ke depan tidak semakin mudah. Situasi perekonomian dan politik global masih bergejolak. Belum sepenuhnya pulih dari pandemi COVID-19, dunia kembali harus menelan pil pahit dari terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina. Maka dari itu, Jokowi menekankan agar semua pihak memiliki kepekaan dan sense of crisis yang sama. Ini, katanya perlu guna menyiapkan respon dan kebijakan yang tepat dalam semua tataran lembaga negara dari pusat sampai ke daerah.
“Kita harus memaksimalkan kekuatan kita sendiri, terutama kekuatan belanja dalam negeri, kita tahu di pusat ada Rp526 triliun, di daerah ada Rp535 triliun, plus kemudian di BUMN Rp420 triliun, jumlah yang tidak sedikit, yang jika dibelanjakan untuk barang-barang produksi dalam negeri, selalu berulang kali saya sampaikan akan memberikan dampak yang siginifikan, mempercepat upaya pemulihan yang kita lakukan,” tuturnya.
Jokowi meminta semua pihak berupaya memaksimalkan potensi dalam negeri dengan membangun ekosistem hilirisasi industri agar dampak langsungnya bisa dirasakan oleh masyarakat.
“Kita harus bekerja keras, bekerja terus untuk menciptakan nilai tambah ekonomi dengan hilirisasi industri mulai dari sektor tambang sampai sektor pangan, membangun industri pengolahan dari bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau kalau bisa menjadi barang jadi, menciptakan efek multiplayer, efek berganda yang berlipat, bukan hanya pada nilainya tapi juga kita harapkan penyerapan tenaga kerja untuk membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya,” tegasnya.
Rekomendasi BPK
Ketua BPK Isma Yatun mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh pihaknya, LKPP tahun 2021 mendapatkan opini WTP di mana dari 87 Kementerian/Lembaga (K/L), hanya empat K/L yang mendapatkan opini wajar dengan pengecualian (WDP).
“Keempatnya itu adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tapi secara material ke empat LKKL tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan kepada keuangan pemerintah pusat,” ungkap Isma.
BPK, kata Isma, memberi beberapa catatan dalam segi kepatuhan dan sistem pengendalian internal. Pertama, terkait pengelolaan insentif dan fasilitas perpajakan tahun 2021 sebesar Rp15,31 triliun yang dinilai belum sepenuhnya memadai. Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan pemerintah agar dapat menguji kembali kebenaran pengajuan insentif dan fasilitas perpajakan yang telah diajukan wajib pajak dan disetujui; dan menagih kekurangan pembayaran pajak serta sanksinya untuk pemberian insentif dan fasilitas yang tidak sesuai.
“Yang lainnya adalah mengenai penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja non program KCP PEN pada 80 K/L minimal sebesar Rp12,52 triliun belum sepenuhnya sesuai ketentuan. Atas permasalahan ini BPK merekomendasikan pemerintah antara lain agar memperbaiki mekanisme penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja untuk memitigasi risiko ketidakpatuhan dalam pencapaian input dan ketidaktepatan sasaran dalam pelaksanaan belanja,” jelasnya.
Apakah Kualitas Pengelolaan Anggaran Negara Berkualitas?
Sementara itu, Pengamat Ekonomi CELIOS Bhima Yudhistira menilai cukup banyak Kementerian/Lembaga yang sudah melakukan pengelolaan anggaran dengan cukup baiik dibandingkan pada tahun 2020, mulai dari memperkuat pengawasan internal, perbaikan data, juga memiliki sense of crisis yang kuat sehingga melakukan pencairan anggaran tepat waktu. Namun, yang perlu menjadi perhatian menurut Bhima adalah apakah pengelolaan keuangan negara tersebut sudah bisa berdampak langsung kepada masyarakat?.
“Juga bagaimana kualitas output dari anggaran tadi, bukan hanya soal kepatuhan, tapi juga bagaimana anggaran yang sangat besar baik di level pemerintah pusat, K/L maupun di level daerah itu outputnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat terutama UMKM, kemudian pencari kerja, ada lapangan kerja yang dibuka di daerah dan mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi,” ungkapnya kepada VOA.
Bhima mencontohkan, sejak tahun 2020 pencairan dana desa masih menjadi masalah sehingga realisasi penyerapan anggaran tersebut relatif lambat dibandingkan pos belanja lain. Menurutnya, ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, dana desa dibutuhkan bukan hanya untuk infrastruktur namun juga bisa menggerakkan bansos di pedesaan untuk memberikan stimulus kepada masyarakat yang tidak mampu.
“Tapi kita juga masih melihat meskipun WTP juga diberikan di beberapa pemda, ada yang serapan anggaran saat ini masih buruk, masih ada Rp200 triliun anggaran pemda yang ditahan di bank, artinya ada masalah teknis soal penganggaran yang tidak bisa cepat dicairkan. Jadi, itu yang diharapkan, kualitas dari anggaran, bukan hanya sekadar kepatuhan terhadap teknis administrasi,” pungkasnya. [VOA Indonesia/Ghita Intan/gi/ka]