Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah dilaporkan turun. Namun, pengamat mengingatkan, ini tidak berarti pemerintah baik dalam mengelola utang.
“Perkembangan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan posisi ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral),” ungkap Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam siaran pers, di Jakarta.
Erwin kemudian merinci, posisi utang ULN pemerintah pada periode April tercatat 190,5 miliar dolar AS, turun dari 196,2 miliar dolar AS. Secara tahunan, ujarnya, pertumbuhan ULN terkontraksi 7,3 persen, lebih dalam dibandingkan kontraksi sebelumnya yang hanya 3,4 persen.
Tren penurunan ULN ini disebabkan adanya beberapa seri Surat Berharga Negara (SBN) yang jatuh tempo pada April, dan pergeseran penempatan dana oleh investor non residen sebagai akibat dari masih tingginya ketidakpastian dalam pasar keuangan global.
Selain itu, lanjut Erwin, komponen pinjaman juga mengalami penurunan secara neto, seiring dengan pelunasan pinjaman yang lebih tinggi dibanding dengan penarikan pinjaman dalam mendukung pembiayaan program dan proyek prioritas.
Penarikan ULN pada April 2022 akan tetap diarahkan pada pembiayaan sektor produktif dan diupayakan terus mendorong akselerasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dukungan ULN pemerintah dalam memenuhi pembiayaan sektor produktif dan kebutuhan belanja prioritas mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24,6 persen dari total ULN Pemerintah), sektor jasa pendidikan (16,5 persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,1 persen), sektor konstruksi (14,2 persen), dan sektor jasa keuangan dan asuransi (11,7 persen).
“Pemerintah tetap berkomitmen menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel. Posisi ULN Pemerintah relatif aman dan terkendali jika dilihat dari sisi refinancing risk jangka pendek, mengingat hampir seluruhnya merupakan ULN dalam jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,96 persen dari total ULN Pemerintah,” tuturnya.
Meski begitu, ULN swasta dilaporkan naik. Posisi ULN swasta pada April 2022 tercatat 210,2 miliar dolar AS, naik 0,03 persen secara tahunan setelah sebelumnya turun 1,6 persen secara tahunan pada bulan sebelumnya.
Kenaikan ULN swasta ini disebabkan oleh ULN perusahaan bukan lembaga keuangan (nonfinancial corporations) yang tumbuh 0,5 persen (year on year/yoy), meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencatat kontraksi 0,7 persen (yoy).
Kenaikan ini juga akibat dari penerbitan global bond korporasi dalam sektor pertambangan dan penggalian. Selain itu, ULN lembaga keuangan (financial corporations) mengalami kontraksi 1,9 persen (yoy), lebih rendah dari kontraksi bulan sebelumnya 5,0 persen (yoy).
Jika dilihat dari sektor, ULN swasta terbesar bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi; sektor pertambangan dan penggalian; sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin; serta sektor industri pengolahan, dengan pangsa mencapai 77,1 persen dari total ULN swasta. ULN tersebut tetap didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 75,7 persen terhadap total ULN swasta.
Lebih jauh Erwin mengatakan, ULN Indonesia pada April tahun ini tetap terkendali. Ini, katanya, tercermin dari rasio ULN Indonessia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga pada kisaran 32,5 persen yang turun dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya yakni 33,8 persen.
Selain itu, kata Erwin, struktur ULN Indonesia diklaim cukup sehat, ditunjukkan dengan ULN Indonesia yang masih didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 87,5 persen dari total ULN.
Apakah Pengelolaan Utang Pemerintah Cukup Sehat?
Pengamat Ekonomi INDEF Eko Sulityanto menilai penurunan utang yang cukup signfikan ini disebabkan oleh beberapa faktor, terutama adanya utang jatuh tempo yang dibayar oleh pemerintah. Selain itu realisasi defisit fiskal masih terjaga di bawah tiga persen sehingga penyerapan utang cenderung lambat.
“Ketika lambat sepertinya Menkeu tahu bahwa ini pun dipaksakan ditambah anggaran tidak akan bisa menyerap lebih bagus, sehingga Menkeu melakukan upaya untuk mengurangi penarikan SBN global yang lebih banyak. Itu yang membuat utang cenderung turun,” ungkap Eko kepada VOA.
Selain itu, ujarnya, pembiayaan oleh pemerintah didominasi oleh mata uang rupiah sehingga membantu mengurangi utang luar negeri. Eko melihat bahwa pemerintah cenderung membatasi untuk mengeluarkan global bond.
“Tapi over all menurut saya penurunan ini bagus katakanlah untuk membuat optimisme terutama dalam jangka pendek pada stabilitas nilai tukar rupiah, karena ULN dampak jangka pendek yang dikhawatirkan adalah dampaknya terhadap fluktuasi nilai tukar, kalau saat ini ULN turun itu berarti sebetulnya volatilitasnya harusnya juga kelihatan turun,” jelasnya.
Meski begitu, ia mengatakan penurunan utang ini bukan berarti pengelolaan utang yang dilakukan oleh pemerintah cukup baik. Pasalnya pertumbuhan utang tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Menurutnya, utang harus bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Growth utang kita masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, itu artinya kecepatan (pertumbuhan) utangnya masih lebih kencang dibandingkan dengan kecepatan PDB-nya. PDB tahun lalu 3,67 persen, atau triwulan pertama lima persen sementara growth utang sekitar 10 persen atau double digit. Jadi, itu yang menggambarkan secara umum kalau diukur dari sisi apakah sudah cukup baik dalam konteks output, menurut saya masih menantang,” katanya.
Ia mengakui bahwa jika dilihat dari sisi governance, pemerintah memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi dalam melakukan pembayaran utang yang sudah jatuh tempo.
“ini menggambarkan bahwa seharusnya pemegang bond atau surat utang Indonesia ya optimis bahwa pemerintah tidak kekurangan uang untuk membayar utang,” katanya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup aman? Eko menjawab bahwa saat ini rasio utang pemerintah terhadap PDB berkisar 39-40 persen dari PDB. Jika dilihat dari standar yang ditetapkan oleh IMF yakni 60 persen terhadap PDB, utang pemerintah Indonesia masih aman.
Namun, pemerintah, menurut Eko, perlu memperhatikan rasio antara utang dengan kemampuan negara untuk mengekspor. Dengan booming komoditas Indonesia yang saat ini sedang tinggi, rasio utang saat ini tentu tidak menjadi masalah.
Ia mengingatkan booming komoditas hanya berlangsung kurang lebih 2-3 tahun. Jadi, pemerintah perlu waspada apabila nanti terjadi penurunan ekspor yang cukup signifikan pasca harga komoditas turun.
“Jadi itu tantangannya kalau ekspor turun kita harus siap-siap kena goncangan dari besarnya rasio utang itu terhadap PDB, tapi over all dikatakan sudah tidak aman ya engga juga. Jadi, kita itu tengah-tengah dengan angka 40 persen karena buktinya goncangan di ekonomi itu tidak terjadi dari sisi utang,” pungkasnya. [VOA Indonesia/gi/Ghita Intan/ka]