Penyiksaan terhadap tahanan di dalam penjara bukan sebuah fenomena baru. Penyiksaan kerap dialami seorang tahanan di dalam penjara ketika menjalani proses hukum. Tak jarang penyiksaan di dalam penjara berujung dengan kematian. Lantas upaya apa yang bisa dilakukan?
Belakangan, kasus penganiayaan, penyiksaan, dan pemerasan itu turut menyeret seorang anggota polisi yang sedang bertugas di rumah tahanan Polrestabes Medan. Oknum polisi itu disebut-sebut menyuruh para tahanan untuk menyiksa Jubal. Kini, kasus itu masih diselidiki oleh kepolisian.
Penyiksaan terhadap tahanan yang berujung kematian itu pun mendapat sorotan dari anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti. Menurutnya, segala tindak penganiayaan maupun penyiksaan yang berujung kematian seharusnya tidak boleh terjadi. Polisi pun harus segera mengoreksi setiap petugas yang melakukan penjagaan di ruang tahanan.
“Itu yang mesti harus dikoreksi adalah bagaimana aparat kepolisian melakukan tugas pengamanan di ruang tahanan. Petugas jaga tahanan itu yang pertama harus dimintai pertanggungjawabannya. Kenapa bisa terjadi seperti itu? Seharusnya kalau polisi menahan seseorang, maka pihak kepolisian harus bisa menjamin keselamatan dan juga memenuhi hak-hak dari tersangka,” katanya kepada VOA, Sabtu (11/6).
Poengky menilai kekerasan di dalam sel tahanan sudah menjadi budaya yang telah terjadi dalam kurun waktu lama. Bukan hanya terjadi di instansi kepolisian, tetapi budaya penyiksaan ini juga terjadi pada tempat-tempat penahanan lain. Seharusnya, kata dia, segala bentuk tindak kekerasan di dalam sel tahanan harus dapat dicegah.
“Anggota kepolisian yang bertugas semestinya juga harus berani. Lalu, jangan sampai yang bersangkutan ini (kepolisian) justru malah menjadi aktor terjadinya penganiayaan oleh sesama tahanan, termasuk juga pemerasan-pemerasan,” ungkapnya.
Kompolnas menjelaskan banyak faktor yang memengaruhi terjadinya penganiayaan maupun penyiksaan di dalam sel tahanan. Minimnya pengawasan dari petugas jaga dan kurangnya ketersediaan kamera pengawas di sel tahanan, turut menyuburkan budaya penyiksaan tersebut. Untuk itu institusi Polri harus segera melakukan sejumlah kebijakan dan langkah untuk mencegah terjadinya penyiksaan di dalam penjara.
“Terkadang monitor kamera pengawas itu juga ada yang enggak berfungsi dengan baik atau kurang terang,” ujarnya.
Kemudian, patroli yang dilakukan petugas piket jaga tahanan terkadang juga tak menjalankan sesuai prosedur operasional standar (SOP). Hal itu juga membuat peluang terjadinya segala bentuk tindak penyiksaan di dalam sel tahanan.
“Terkadang karena terlalu penuh (sel tahanan -red) sehingga pemeriksaan atau patroli itu dilakukan tidak setiap jam. Malah terkadang juga pengawasan untuk alat-alat atau barang-barang berbahaya yang bisa dibawa masuk ke ruang tahanan ini semestinya harus bisa disortir dari luar,” ucap Poengky.
Bukan hanya itu, ruang tahanan yang melebihi kapasitas juga turut menjadi faktor penyebab terjadinya penganiayaan di dalam penjara. Apalagi saat pandemi COVID-19 banyak tahanan yang dititip di kepolisian.
“Sementara ruangan untuk bisa menahan kapasitas itu tidak memadai. Saya merekomendasikan kepada penyidik untuk selektif dalam memutuskan untuk menahan seseorang atau tidak. Sebab dengan keterbatasan ruang tahanan jangan sampai melebih kapasitas sehingga malah menimbulkan masalah,” ungkap Poengky.
Selanjutnya, masih ada budaya untuk menganiaya dari sesama tahanan terutama kasus kesusilaan kerap ditemui di dalam penjara.
“Maka itu ada hukum tersendiri yang dilakukan oleh sesama tahanan. Mereka menganggap kejahatan kesusilaan yang dilakukan oleh orang yang masuk ke ruang tahanan itu sungguh tidak patut. Sehingga mereka melakukan upaya penghukuman beragam,” jelas Poengky.
Namun, segala bentuk tindak penyiksaan yang terjadi di dalam sel tahanan dapat dicegah apabila pengawasan dari aparat kepolisian berjalan dengan baik.
“Kami berharap ada upaya untuk lebih tegas dan waspada untuk anggota polisi yang melakukan pengawasan (ruang tahanan). Jangan sampai lengah dalam mengawasi dan jangan sampai ada anggota yang terlibat dengan pemerasan terhadap tahanan,” kata Poengky.
Lalu, kata dia, upaya yang harus dilakukan kepolisian untuk mencegah terjadinya penyiksaan di dalam penjara adalah dengan mengedepankan hak asasi manusia (HAM) pada saat bertugas menjaga tahanan. Setiap anggota polisi, kata Poengky, harus memahami HAM sehingga bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
“Kemudian, pengawasan dari atasan itu juga penting. Jangan sampai atasan tidak melakukan pengawasan, menyalahgunakan kekuasaan, tindakan bertentangan dengan hukum. Jika atasan tidak memberikan contoh yang baik kepada anggota maka anggotanya juga akan melakukan tindakan serupa,” pungkasnya.
Wakil koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar, mengatakan tindakan penganiayaan yang terjadi di dalam penjara disebabkan adanya relasi kuasa antara polisi dan para tahanan. Relasi kuasa tersebut berdampak pada polisi yang seolah-olah punya ruang untuk melakukan apa pun termasuk menyiksa dengan tujuan penggalian informasi.
“Selain itu minimnya pengawasan dan sanksi yang membuat jera atas pelaku penyiksaan. Hal tersebut yang menjadi penyebab penyiksaan terus berulang,” ujarnya kepada VOA.
Rivanlee melanjutkan pada umumnya penyiksaan terjadi karena dianggap sebagai metode penghukuman dan upaya mencari pengakuan. Lalu, penyiksaan kerap dianggap hal biasa dan sebagai praktik yang wajar meskipun itu sebuah kesalahan.
“Ruang praktik penyiksaannya harus dipersempit, misalnya memasang kamera pengawas di dalam tahanan. Adanya mekanisme pelaporan dan pengawasan rutin antar satuan tingkatan serta setiap pelaku penyiksaan diadili secara pidana,” tandas Rivanlee.
Menghapus segala bentuk tindakan penganiayaan di dalam sel tahanan sejatinya telah tertuang dalam Pasal 33 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian. Namun, ironisnya hingga kini praktik tindakan kekerasan di dalam penjara masih terus terjadi. [aa/ah/Anugrah Andriansyah/VOA Indonesia]