Sejarah Islam di Amerika dimulai sejak berabad-abad lalu, ketika praktik perbudakan masih sah dilakukan. Namun tak banyak jejak yang bisa ditelusuri untuk memahami bagaimana Islam hidup pada era tersebut. Sosok Omar Ibn Said menjadi jendela untuk mengintip lebih jauh kehidupan Muslim kala itu.
Sebuah manuskrip berbahasa Arab yang diperoleh Library of Congress AS pada tahun 2017 menjadi bukti penting sejarah Islam di Amerika, yang dimulai sejak era perbudakan. Manuskrip itu ditulis Omar Ibn Said, pria kelahiran tahun 1770 asal Futa Toro, yang kini menjadi bagian dari Senegal. Catatan itu berisi surat, ayat-ayat Al-Quran dan Injil, serta riwayat hidupnya sendiri yang ia tulis pada tahun 1831. Autobiografi itu menjadi satu-satunya riwayat hidup berbahasa Arab yang tersisa di Amerika, yang ditulis oleh seseorang semasa ia diperbudak.
Lanisa Kitchiner, kepala divisi Afrika dan Timur Tengah di Library of Congress, menuturkan, “Dalam manuskripnya yang dibuat dengan luar biasa, ia mengatakan… ‘Saya adalah seseorang yang punya asal-usul. Saya berbahasa. Saya punya sistem kepercayaan. Saya bukan properti. Saya adalah manusia. Kulit kita sama. Rasa kemanusiaan kita sama.’ Itu semua menjadi kekuatan manuskrip ini.”
Dijerumuskan ke dalam Perbudakan
Dalam catatannya, Omar mengaku telah mempelajari Islam selama 25 tahun kepada seorang syekh di tanah kelahirannya. Maka itu tak heran Omar mampu berbahasa Arab, ketika tak satu pun orang kulit putih di Amerika mengerti aksara maupun bahasa itu.
Fakta itu bertolak belakang dengan tujuan perbudakan di mata bangsa Eropa, kata peneliti dan dosen Praktik Studi Asia dan Timur Tengah dan Studi Komparatif Internasional Duke University, Mbaye Lo.
“Salah satu pembenaran filosofis perbudakan dulunya adalah untuk mengedukasi dan membuat orang Afrika beradab,” jelasnya.
Omar dijerumuskan ke dalam perbudakan pada tahun 1807 ketika berusia 37 tahun. Ia menulis, dirinya ditangkap sekelompok besar tentara “yang membunuh banyak orang,” yang kemudian membawanya ke laut lepas sebelum dirinya dijual ke tangan “orang-orang Kristen.” Ia termasuk ke dalam gelombang terakhir orang-orang Afrika yang diperjualbelikan ke Amerika melalui jalur Trans-Atlantik.
Omar tiba di kota Charleston, South Carolina, setelah menempuh perjalanan laut selama 1,5 bulan. Di kota itu, ia dijual kepada seorang “pria kejam” dan “kafir” bernama Johnson untuk bekerja di perkebunan.
Empat tahun berselang, Omar melarikan diri hingga tiba di kota Fayetteville, North Carolina – 350 kilometer dari Charleston.
Suatu malam dalam pelariannya, Omar memasuki sebuah gereja untuk berdoa. Kala itu, tak ada masjid atau bangunan keagamaan lain. Keberadaannya dipergoki salah seorang warga. Omar lantas ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan.
Omar di Mata Bangsa Kulit Putih
Di dalam penjara, Omar memenuhi dinding sel dengan coretan arang. Ia menulis doa-doa, memohon perlindungan Allah, dalam bahasa Arab. Pemandangan itu tak biasa di mata bangsa kulit putih.
Kemampuannya menulis dalam bahasa asing menjadi buah bibir dan memukau salah satu keluarga terkaya di North Carolina saat itu: keluarga Owen. Tak lama setelahnya, Omar dibawa James Owen, kakak dari gubernur North Carolina saat itu, John Owen, ke perkebunannya di Bladen County, North Carolina.
Dalam catatan Omar, di tangan James Owen, dirinya diperlakukan dengan baik. Ia tak dibebani pekerjaan berat, tak pernah dimarahi, apalagi dipukuli. Ia diperkenankan memakai penutup kepala semacam sorban, juga diizinkan membaca Alkitab. Keluarga Owen sendiri diakui Omar sering membacakan ayat-ayat Injil kepadanya.