Dinasti Politik: Karena Kesempatan Terlalu Sayang Dilewatkan

0
Bobby Nasution bersama istrinya, Kahiyang Ayu (putri Presiden Joko Widodo) usai menggunakan hak suaranya di Pilkada Medan, Rabu 9 Desember 2020. (courtesy- Tim Pemenangan Bobby Nasution)

Kondisi politik Indonesia, kaitannya dengan politik dinasti, mengalami situasi yang memburuk. Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 ini, ada 158 calon yang memiliki pertalian dengan politisi yang lebih dulu berkibar. Mereka ada di semua posisi, calon gubernur atau wakilnya serta calon bupati dan wali kota atau wakilnya. Jumlah itu, naik tiga kali lipat dibanding Pilkada 2015, yang hanya mencatatkan 52 calon bertalian keluarga atau terikat dinasti politik.

Dari 158 calon itu, menurut perhitungan KPU hingga Rabu (16/12), 67 calon menang, 75 calon kalah, dan 16 calon masih dalam proses penghitungan suara.

Dinasti politik dalam Pilkada 2020. (Sumber data: Yoes C Kenawas)
Dinasti politik dalam Pilkada 2020. (Sumber data: Yoes C Kenawas)

Data itu dipaparkan kandidat doktor ilmu politik di Northwestern University, Illinois, Yoes C. Kenawas dalam diskusi Dinasti Politik Jokowi dan Pandemi Covid 19. Diskusi diselenggarakan Yayasan Kurawal dan Tirto.id, pada Rabu (16/12).

Yoes mengaku khawatir, makin menguatnya dinasti politik berarti mempersempit saluran elit politik di Indonesia.

“Aksesnya semakin terbatas hanya untuk orang-orang dengan latar belakang tertentu, salah satu yang paling diuntungkan adalah mereka yang memiliki pertalian darah atau perkawinan dengan elit yang pernah menjabat atau sudah lebih dulu mapan di politik Indonesia,” kata Yoes.

Kader Partai Jadi Korban

Yoes tidak mau menyinggung persoalan etika dalam hal ini. Menurutnya, politik dinasti adalah pilihan rasional karena sejumlah alasan. Pertama, politisi yang menjabat memiliki batasan waktu, yang tidak sesuai dengan keinginan mendasarnya, yaitu berkuasa selama mungkin. Karena itulah, dia mengajukan calon terdekatnya, baik itu suami,istri atau anaknya. Pilihan itu didasari faktor kedua, yaitu menjaga kepercayaan.

Dinasti politik, menurutnya, mengorbankan kaderisasi politik dalam tubuh partai. Seorang wakil bupati atau wali kota yang sudah setia mendampingi selama 10 tahun, misalnya, bisa dengan mudah tersingkir.

Kandidat doktor ilmu politik di Northwestern University, Illinois, Yoes C. Kenawas. (Foto: pribadi)
Kandidat doktor ilmu politik di Northwestern University, Illinois, Yoes C. Kenawas. (Foto: pribadi)

“Kalah dengan orang yang baru satu tahun atau beberapa bulan menjadi anggota partai, semata-mata karena kandidat yang dimajukan memiliki pertalian darah atau keluarga, dengan elit atau incumbent,” tambah Yoes.

Namun, ini adalah simbiosis mutualisme antara partai politik dan kandidat dari dinasti itu.

Partai membutuhkan dana operasional dan berharap kepala daerah terpilih turut bekerja mendukung mereka dalam pemilihan calon anggota legislatif di masa depan. Sementara dinasti politik memandang partai sebagai jalurp aling aman dan resiko paling kecil, dibanding jika maju melalui jalur independen.

“Ini tidak normal. Ini bukan sesuatu yang kita idam-idamkan dalam sistem politik kita,” tambahnya.

 

Dinasti politik terbangun karena sejumlah sebab. Menurut Yoes, paling mendasar adalah karena undang-undang pemilihan memberi kesempatan itu. Selain itu, partai memiliki kelemahan organisasi sehingga kesulitan dalam proses pencalonan kepala daerah.

Panduan utama partai adalah popularitas. Istri dan anak politisi atau pejabat petahana, dinilai populer karena menumpang kerja pasangan anak orang tua mereka, selama menjabat. Siklus semacam ini, tambah Yoes, harus dibenahi.

Terlalu Berharga Dilewatkan

Made Supriatma, peneliti yang juga visiting fellow di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Yusof Ishak Institute, Singapura mengupas pencalonan Gibran Rakabuming sebagai wali kota Solo. Gibran sendiri, yang hingga awal 2019 selalu mengatakan tidak tertarik politik, tiba-tiba masuk sebagai anggota PDIP pada September 2019.

Pekan lalu, dia dinyatakan menang dalam Pilkada Kota Solo, mengalahkan kandidat lain yang dinilai dihadirkan untuk menghindari kotak kosong. Langkah Gibran, mirip dengan ayahnya, Jokowi pada 2004 lalu, yang dalam waktu singkat masuk partai dan menduduki kursi wali kota.

“Mengapa Gibran tiba-tiba berubah pikiran? Kalau menurut saya, jawabannya sederhana sekali. Ini karena ada kesempatan. Dan kemudian, kesempatan ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Kemungkinan untuk menang tinggi sekali, kenapa tidak diambil. Lagipula, dalam beberapa tahun ke depan, Jokowi akan pergi,” kata Made.

Dalam prosesnya, kata Made, Gibran membangun koalisi partai yang tidak menyisakan lawan kecuali PKS di Solo. Posisi ini menghilangkan potensi partai lain mengajukan calon penantang. Karena melawan kotak kosong lebih sulit diprediksi, muncullah kemudian calon penantang Gibran yang sangat mudah diprediksi akan kalah.

Made Supriatma, visiting fellow di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) –Yusof Ishak Institute, Singapura. (Foto: pribadi)
Made Supriatma, visiting fellow di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) –Yusof Ishak Institute, Singapura. (Foto: pribadi)

“Kalau melawan orang yang tidak terlalu populer, pemilih akan berpikir harus bersama dia selama lima tahun, dan ini bukan sesuatu yang bagus. Secara rasional, kemungkinan lebih baik punya calon yang nyata,” tambah Made terkait kekalahan lawan Gibran.

Apa yang terjadi saat ini, lanjut Made, adalah awal dari dinasti politik di Indonesia yang lebih luas karena terbuka peluang untuk berkuasa. Namun, Made menilai prosesnya tidak akan menuju cacique democracy seperti yang ada di Filipina. Istilah cacique democracy diperkenalkan peneliti Amerika Serikat Ben Anderson, untuk menggambarkan kekuasaan di negara itu yang cenderung turun temurun.

Penguasa wilayah datang dari segelintir keluarga, yang biasanya juga penguasa perkebunan, pertambangan atau bisnis lain. Mereka menjadi anggota DPR, wali kota, atau gubernur dan saling berhubungan keluarga. Pola ini telah berjalan berabad-abad.

Made tidak yakin, dinasti politik di Indonesia akan mengarah seperti kondisi Filipina. Salah satu faktornya adalah karena dinasti politik di Indonesia tidak memiliki akar kuat di masyarakat. Dinasti ini hanya muncul karena oportunisme saja. “Kalau ada peluang seperti itu, dengan kemungkinan menang 90 persen lebih, kenapa tidak diambil,” kata Made.

Problem akar itu pula yang membedakan perjuangan Gibran di Solo dan menantu Jokowi, Bobby Nasution di Medan. Bobby harus berjuang lebih keras di Medan, dengan biaya kampanye yang jauh lebih besar dibanding iparnya. Pertaruhan pengaruh Jokowi di Sumatera Utara lebih kuat.

Di luar apa yang harus dilakukan anak-anaknya dalam Pilkada, Jokowi dinilai menunjukkan karakternya sebagai politisi normal kali ini.

“Pada 2014, Jokowi ini orang biasa yang bisa menjadi presiden. Orang kagum. Tetapi ketika dia di atas, dia jadi politisi normal untuk ukuran Indonesia. Dan sekarang semakin normal sebagai politisi,” pungkas Made. [ns/ab]

Sumber: Nurhadi Sucahyo/VOA Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here