Kondisi politik Indonesia, kaitannya dengan politik dinasti, mengalami situasi yang memburuk. Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 ini, ada 158 calon yang memiliki pertalian dengan politisi yang lebih dulu berkibar. Mereka ada di semua posisi, calon gubernur atau wakilnya serta calon bupati dan wali kota atau wakilnya. Jumlah itu, naik tiga kali lipat dibanding Pilkada 2015, yang hanya mencatatkan 52 calon bertalian keluarga atau terikat dinasti politik.
Dari 158 calon itu, menurut perhitungan KPU hingga Rabu (16/12), 67 calon menang, 75 calon kalah, dan 16 calon masih dalam proses penghitungan suara.
Data itu dipaparkan kandidat doktor ilmu politik di Northwestern University, Illinois, Yoes C. Kenawas dalam diskusi Dinasti Politik Jokowi dan Pandemi Covid 19. Diskusi diselenggarakan Yayasan Kurawal dan Tirto.id, pada Rabu (16/12).
Yoes mengaku khawatir, makin menguatnya dinasti politik berarti mempersempit saluran elit politik di Indonesia.
“Aksesnya semakin terbatas hanya untuk orang-orang dengan latar belakang tertentu, salah satu yang paling diuntungkan adalah mereka yang memiliki pertalian darah atau perkawinan dengan elit yang pernah menjabat atau sudah lebih dulu mapan di politik Indonesia,” kata Yoes.
Kader Partai Jadi Korban
Yoes tidak mau menyinggung persoalan etika dalam hal ini. Menurutnya, politik dinasti adalah pilihan rasional karena sejumlah alasan. Pertama, politisi yang menjabat memiliki batasan waktu, yang tidak sesuai dengan keinginan mendasarnya, yaitu berkuasa selama mungkin. Karena itulah, dia mengajukan calon terdekatnya, baik itu suami,istri atau anaknya. Pilihan itu didasari faktor kedua, yaitu menjaga kepercayaan.
Dinasti politik, menurutnya, mengorbankan kaderisasi politik dalam tubuh partai. Seorang wakil bupati atau wali kota yang sudah setia mendampingi selama 10 tahun, misalnya, bisa dengan mudah tersingkir.
“Kalah dengan orang yang baru satu tahun atau beberapa bulan menjadi anggota partai, semata-mata karena kandidat yang dimajukan memiliki pertalian darah atau keluarga, dengan elit atau incumbent,” tambah Yoes.
Namun, ini adalah simbiosis mutualisme antara partai politik dan kandidat dari dinasti itu.
Partai membutuhkan dana operasional dan berharap kepala daerah terpilih turut bekerja mendukung mereka dalam pemilihan calon anggota legislatif di masa depan. Sementara dinasti politik memandang partai sebagai jalurp aling aman dan resiko paling kecil, dibanding jika maju melalui jalur independen.
“Ini tidak normal. Ini bukan sesuatu yang kita idam-idamkan dalam sistem politik kita,” tambahnya.
Dinasti politik terbangun karena sejumlah sebab. Menurut Yoes, paling mendasar adalah karena undang-undang pemilihan memberi kesempatan itu. Selain itu, partai memiliki kelemahan organisasi sehingga kesulitan dalam proses pencalonan kepala daerah.
Panduan utama partai adalah popularitas. Istri dan anak politisi atau pejabat petahana, dinilai populer karena menumpang kerja pasangan anak orang tua mereka, selama menjabat. Siklus semacam ini, tambah Yoes, harus dibenahi.
Terlalu Berharga Dilewatkan
Made Supriatma, peneliti yang juga visiting fellow di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Yusof Ishak Institute, Singapura mengupas pencalonan Gibran Rakabuming sebagai wali kota Solo. Gibran sendiri, yang hingga awal 2019 selalu mengatakan tidak tertarik politik, tiba-tiba masuk sebagai anggota PDIP pada September 2019.
Pekan lalu, dia dinyatakan menang dalam Pilkada Kota Solo, mengalahkan kandidat lain yang dinilai dihadirkan untuk menghindari kotak kosong. Langkah Gibran, mirip dengan ayahnya, Jokowi pada 2004 lalu, yang dalam waktu singkat masuk partai dan menduduki kursi wali kota.
“Mengapa Gibran tiba-tiba berubah pikiran? Kalau menurut saya, jawabannya sederhana sekali. Ini karena ada kesempatan. Dan kemudian, kesempatan ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Kemungkinan untuk menang tinggi sekali, kenapa tidak diambil. Lagipula, dalam beberapa tahun ke depan, Jokowi akan pergi,” kata Made.
Dalam prosesnya, kata Made, Gibran membangun koalisi partai yang tidak menyisakan lawan kecuali PKS di Solo. Posisi ini menghilangkan potensi partai lain mengajukan calon penantang. Karena melawan kotak kosong lebih sulit diprediksi, muncullah kemudian calon penantang Gibran yang sangat mudah diprediksi akan kalah.