Sejumlah peneliti telah menemukan bangkai kapal penjelajah kutub milik Ernest Shackleton, “Endurance,” yang tampak masih terpelihara dengan baik, di kedalaman 10.000 kaki – atau sekitar 3.048 meter – di dalam lautan es.
“Endurance” ditemukan satu abad setelah disapu es Antartika dalam sebuah ekspedisi yang dikenal sebagai salah satu ekspedisi paling heroik dalam sejarah.
Tim arkeologi kelautan, insinyur dan sejumlah ilmuwan menggunakan kapal pemecah es dan pesawat nirawak bawah air untuk menemukan bangkai kapal itu di dasar Laut Weddell, di dekat Semenanjung Antartika.
Tim ekspedisi pencarian “Endurance22” – yang dilakukan oleh The Falklands Maritime Heritage Trust itu – mengumumkan penemuan tersebut pada Rabu (9/3).
Foto-foto dan video bangkai kapal menunjukkan kapal kayu dengan tiga tiang itu tampak bersih. Tulisan “Endurance” berwarna keemasan masih ada di bagian buritan, sementara kemudi kayu masih berdiri tegak, seolah-olah kapten kapal masih akan kembali untuk mengarahkannya, kapan saja.
“Ini adalah kapal kayu karam terbaik yang pernah saya saya lihat,” ujar Mensun Bound, Direktur Eksplorasi kapal itu. Ia mencatat bagaimana bangkai kapal itu masih tegak di dasar laut dan “dalam kondisi pelestarian yang sangat luar biasa.”
Berbicara pada Associated Press, sejarawan maritim Steve Schwankert, yang tidak terlibat dalam ekspedisi ini, mengatakan penemuan ini adalah “penemuan besar” di “salah satu lingkungan paling paling menantang di dunia.”
Meski Sudah Satu Abad, “Endurance” Ditemukan dalam Kondisi Sangat Baik
Kombinasi perairan yang dalam, gelap – di mana tidak ada cahaya matahari yang dapat menembus kedalaman 10.000 kaki – serta suhu sangat dingin dan es di laut itu telah menggagalkan upaya ekspedisi sebelumnya untuk menemukan “Endurance.” Namun hal ini juga menjelaskan mengapa bangkai kapal ini ditemukan dalam kondisi sangat baik seperti sekarang ini.
Dasar Laut Weddell adalah “lingkungan yang sangat tidak ramah untuk hampir semua hal – terutama berbagai jenis bakteri, tungau, dan cacing pemakan kayu yang akan sangat menikmati mengunyah bangkai kapal kayu,” tambah Schwankert.
Ekspedisi “Endurance22” dimulai dari Cape Town, Afrika Selatan, pada awal Februari lalu, dengan menggunakan kapal yang mampu menembus es setebal satu meter.
Tim yang beranggotakan lebih dari 100 peneliti dan awak kapal itu mengerahkan beberapa pesawat nirawak bawah air yang selama dua minggu menyisir setiap sisi dasar laut di mana kapal itu tercatat tenggelam pada tahun 1915.
Pemimpin ekspedisi itu, John Shears, mengatakan “kami telah membuat sejarah di kutub dengan penemuan “Endurance” ini dan berhasil menyelesaikan pencarian kapal karam yang paling menantang di dunia.
Shackleton Ajarkan Memimpin di Saat Sulit
Penjelajah Inggris Ernest Shackleton tidak pernah mencapai ambisinya untuk menjadi orang pertama yang melintasi Antartika melalui Kutub Selatan. Bahkan ia tidak pernah menginjakkan kaki di benua itu.
“Meskipun dirancang untuk menahan benturan gunung es yang terapung dan untuk menembus bongkahan es, “Endurance” tidak dapat bertahan dari es yang sangat besar,” ujar Ann Coats, sejarawan maritim di Universitas Portsmouth. Shackleton
sendiri mencatat kesulitan upayanya itu dalam buku hariannya.
“Saat-saat akhir itu terjadi di sekitar pukul lima sore,” tulisnya. “Ia bernasib buruk, tidak ada kapal yang dibangun oleh tangan manusia yang dapat bertahan dari tekanan ini.”
Menurut buku harian Shackleton itu, sebelum “Endurance” menghilang 3.000 meter di bawah perairan es, awak kapal Shackleton memuat makanan dan perbekalan lain ke dalam tiga sekoci untuk menyelamatkan diri dan mendirikan kemah di atas gunungan es. Awak kapal ini juga menggunakan kereta luncur anjing untuk membawa perbekalan mereka.
Shackleton dan kapten kapal Frank Worsley kemudian berlayar sejauh 1.287 kilometer melintasi perairan es berbahaya dengan kapal sepanjang tujuh meter, ke sebuah pulau di South Georgia, yang merupakan komunitas perburuan paus yang terpencil, untuk mendapat bantuan. Perjalanan yang sukses itu dianggap sebagai prestasi ketabahan yang heroik. Hingga saat ini sikap Shackleton yang tegas ketika menghadapi tragedi ini menjadi model bagaimana memimpin dalam keadaan sulit.
“Shackleton sangat pandai membuat perencanaan dan improvisasi dengan baik. Saya merasa penjelajah kutub hari ini tidak akan bertahan dari hal-hal yang sama seperti yang dialaminya,” ujar Anna Wahlin, peneliti kutub di Universitas Gothenburg, yang baru saja kembali dari misi mempelajari lapisan es dan pemanasan arus laut di Antartika selama dua bulan.
Di Antartika “semua berwarna abu-abu atau putih,” dan hanya dalam beberapa minggu para penjelajah “mulai merindukan mencium bau tanah, berjalan di hutan, mendengar kicauan burung, melihat-hal-hal yang hijau,” ujar Wahlin.
“Endurance” Tak Boleh Diusik
Ekspedisi untuk menemukan “Endurance” dilakukan satu abad setelah kematian Shackleton pada tahun 1922. Sejarawan dan penyiar Inggris Dan Snow, yang menemani para peneliti, mencuit bahwa penemuan bangkai kapal itu pada Sabtu (5/3) lalu terjadi “100 tahun sejak Shackleton dikebumikan.”
Berdasarkan Perjanjian Antartika yang sudah berumur 60 tahun, kapal itu dilindungi sebagai monumen bersejarah. Ini dimaksudkan untuk melindungi kawasan di mana kapal itu berada.
Para peneliti memfilmkan bangkai kapal itu, tetapi tidak mengganggunya. Sebaliknya penyelenggara ekspedisi itu mengatakan mereka ingin menggunakan pemindaian laser untuk membuat kapal model tiga dimensi yang dapat ditampilkan di pameran perjalanan dan sekaligus pameran di museum secara permanen.
“Shackleton, kami rasa kamu bangga pada kami,” tulis Bound tentang ekspedisi itu dalam sebuah unggahan di blognya. [em/jm]
Sumber: Associated Press/VOA Indonesia