Pemkab Konawe Melalui DisDikBud Gagas “Aso Oleo Mombetolaki”

0
Ilustrasi tidak melupakan bahasa ibu/ bahasa daerah

Konawe, MNC Trijaya Kendari – Dalam lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa penetapan kurikulum mulok pendidikan menengah dan mulok pendidikan khusus menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Sementara pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan menetapkan kurikulum mulok pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal.

Suasana pembelajaran di Sekolah Dasar

Berdasarkan Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014, mulok adalah bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik terbentuk pemahamannya terhadap keunggulan dan kearifan di daerah tempatnya tinggal.

Mulok diajarkan dengan tujuan membekali peserta didik dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk mengenal dan mencintai lingkungan alam, sosial, budaya, dan spriritual di daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah yang berguna bagi diri dan lingkungannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional.

Sebagai bentuk perhatian akan pentingnya nilai luhur mencintai bahasa daerah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Konawe menggagas sebuah program pendidikan berbasis kearifan lokal, yang akan Dilauncing disemester ganjil atau semester baruyaitu “Aso Oleo Mombetolaki” Berbahasa Tolaki Satu Hari Dalam Seminggu.

Kadis DikBud Konawe, Dr.Suriyadi,S.Pd.,M.Pd

“Ini adalah program Pemerintah Kabupaten Konawe yang digagas Bupati Kery Saiful Konggoasa melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan nama program “Aso Oleo Mombetolaki”, program ini akan dimulai disemester ganjil dan akan dijalankan setiap hari Kamis, berlaku ditingkat PUD, SD dan SMP. Jadi disekolah mulai dari murid, guru, dan warga sekolah diharuskan berbahasa tolaki dalam satu hari dalam seminggu,” ungkap Kadis DikBud Konawe, Dr.Suriyadi,S.Pd.,M.Pd kepada MNC Trijaya di Program Trijaya Hot Topik Sore. Senin (7/3/2022).

“Ini adalah leading sektor kami di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka mengedukasi dan mensosialisasikan, melestarikan kearifan lokal yang salah satunya bahasa tolaki. pokoknya suka tidak suka, terima tidak terima kita harus sampaikan keanak kita meskipun dia suku Jawa, suku bugis, suku lainnya termasuk gurunya dia harus tau atau paham bahasa tolaki,” tambah Kadis DikBud Konawe.

Suriyadi juga mencontohkan bahwa anak kita suku tolaki mereka sekolah di Jawa ada muatan lokal berbahasa Jawa, mereka harus berbahasa Jawa.
“Dimana kaki dipijak, disitu langit dijunjung,” tegasnya.

“Bagaimana mereka mengenal Kalosara, minimal mereka kenal supaya mereka tau bahwa ini adalah khas atau karakter suku Tolaki,” tutup Suriyadi.

Mendikbudristek Nadiem Makarim dalam Peluncuran Merdeka Belajar Episode Ketujuh Belas (foto: Kemendikbudristek)

Sementara itu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, mengungkapkan, salah satu penyebab punahnya bahasa daerah adalah karena para penutur jatinya tidak lagi mewariskan Bahasa daerah ke generasi berikutnya.

“Indonesia memiliki sekitar 718 bahasa daerah, namun sayangnya banyak yang terancam punah. Penyebab utamanya adalah para penutur jatinya tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasanya pada generasi berikutnya,” ungkap Menteri Nadiem, seperti dikutip dalam rilis Kemendikbudristek di Jakarta, dikutip Infopublik, Rabu (23/2/2022).

Oleh karenanya, salah satu strategi revitalisasi bahasa daerah adalah dengan mendorong satuan pendidikan memuat pelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah. Hal ini juga perlu didorong oleh kebijakan pemerintah daerah masing-masing.

Pada provinsi, kabupaten, serta kota yang memiliki bahasa daerah dominan seperti Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali, kami berharap muatan lokal yang diwajibkan adalah pelajaran bahasa daerah. “Tetapi, wilayah-wilayah yang tidak punya bahasa daerah yang dominan, maka muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Jadi, pilihannya benar-benar ada di masing-masing sekolah,” kata Menteri Nadiem.

“Namun, wajib tidaknya bahasa daerah menjadi muatan lokal di sekolah, akan tergantung kebijakan masing-masing pemerintah daerah. Kalau bukan kebebasan masing-masing daerah, berarti bukan Merdeka Belajar. Jadi tergantung,” lanjut Mendikbudristek.

Hadirnya program Revitalisasi Bahasa Daerah semakin menggugah sekolah untuk bergerak mengembangkan pembelajaran bahasa daerah yang membangkitkan kreativitas peserta didik. “Saya juga berharap, sekolah-sekolah menggerakkan bahasa daerah bagi para pelajar dan membuat jembatan lintas generasi, kembali pada identitas kita dan merayakan kebhinekaan,” harap Menteri Nadiem.

Untuk melindungi penutur asli bahasa daerah, dijelaskan Menteri Nadiem, strategi terbaik adalah dengan memberi peluang seluas-luasnya pada semua penutur asli bahasa daerah untuk menggunakan bahasanya.

“Itulah mengapa kami mengembangkan tiga model revitalisasi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pertama, bagi bahasa daerah yang daya hidup bahasanya masih aman, kami melakukan pewarisan lewat pembelajaran di sekolah. Bagi bahasa daerah yang daya hidupnya tergolong rentan, walau jumlah penuturnya relatif banyak, kami gunakan model kedua, di mana kita fokus bukan hanya ke sekolah tapi juga komunitas-komunitas,” jelasnya.

Mendikbudristek mengajak semua pihak berperan aktif dalam kegiatan pelestarian Bahasa ibu. “Mari kita sama-sama melestarikan bahasa daerah agar tetap adaptif bagi generasi berikutnya,” ajaknya. (Adv/Prw)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here