Presiden Joko Widodo akhirnya mencabut kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di seluruh wilayah Tanah Air.
Dalam pengumumannya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (30/12). Jokowi menuturkan keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan situasi pandemi COVID-19 yang semakin terkendali.
“Setelah mengkaji dan mempertimbangkan perkembangan tersebut, kita ini mengkaji sudah lebih dari 10 bulan dan lewat pertimbangan-pertimbangan yang bedasarkan angka-angka yang ada, maka pada hari ini pemerintah memutuskan untuk mencabut PPKM yang tertuang dalam Instruksi Mendagri Nomor 50 dan 51 Tahun 2022. Jadi tidak ada lagi pembatasan kerumunan dan pergerakan masyarakat,” ungkap Jokowi.
Ia menjelaskan per 27 Desember, kasus harian virus corona hanya mencapai 1,7 kasus per satu juta penduduk. Selain, Itu tingkat positivity rate mingguan berada pada level 3,35 persen.
Adapun tingkat keterisian tempat tidur bagi pasien COVID-19 (bed occupancy ratio/BOR) berada pada angka 4,79 persen dan tingkat kematian mencapai 2,35 persen. Data semua ini, katanya berada di bawah standar yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, katanya, seluruh wilayah di Indonesia telah berstatus PPKM level 1.
Pencabutan status PPKM tersebut juga dilakukan berdasarkan cakupan imunitas penduduk yang dinilai sudah cukup tinggi. Berdasarkan hasil sero survei yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, tingkat kekebalan masyarakat berada pada angka 98,5 persen per Juli 2022, meningkat dari 87,8 persen pada Desember 2021.
“Artinya, kekebalan kita ini secara komunitas berada di angka yang sangat tinggi dan jumlah vaksinasi sampai hari ini berada di angka 448.525.478 dosis, ini juga sebuah angka yang tidak sedikit,” tuturnya.
Meski begitu, Jokowi tetap meminta kepada seluruh masyarakat untuk tetap berhati-hati dan waspada. “Pemakaian masker di keramaian dan ruang tertutup harus tetap dilanjutkan, kesadaran vaksinasi harus terus digalakkan karena ini akan membantu meningkatkan imunitas. Masyarakat harus makin mendiri dalam mencegah penularan, mendeteksi gejala, dan mencari pengobatan,” tambahnya.
Jokowi juga tetap meminta agar aparat dan lembaga pemerintah tetap siaga menghadapi kemungkinan terjadinya lonjakan kasus.Ia juga menekankan mekanisme vaksinasi harus tetap berjalan, terutama untuk vaksinasi penguat atau booster.
“Dalam masa transisi ini Satgas COVID-19 Pusat dan Daerah tetap dipertahankan untuk merespons penyebaran yang cepat. Jadi Satgas daerah tetap ada selama masa transisi,” katanya
Presiden juga memastikan bahwa bantuan sosial bagi masyarakat akan tetap disalurkan meskipun PPKM telah dicabut.
“Bantuan vitamin dan obat-obatan akan tetap tersedia di fasilitas kesehatan yang ditunjuk, dan beberapa insentif-insentif pajak dan lain-lain juga akan terus dilanjutkan,”pungkasnya.
Ahli Epidemiologi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo menuturkan, dicabut atau tidaknya status PPKM tidak menimbulkan perubahan yang signifikan. Menurutnya, sejak PPKM level satu diterapkan di seluruh wilayah Tanah Air, hampir tidak ada pembatasan yang cukup ketat dalam kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat atau hampir mendekati keadaan pra pandemi.
Diakuinya memang sudah sejak lama kasus pandemi COVID-19 di Indonesia cukup landai, dan tingkat BOR di rumah sakit pun cenderung rendah. Menurutnya, hal tersebut diakibatkan tingkat imunitas masyarakat yang didapat baik dari infeksi alamiah maupun dari vaksinasi COVID-19 itu sendiri.
“Sehingga kalaupun ada kasus, ya cuma riak-riak kecil saja. Misalnya gejala ringan atau bahkan tanpa gejala sekalipun. Jadi ke depan, kalaupun ada tambahan kasus mungkin tidak akan cukup tinggi dan mayoritas bergejala ringan,” ungkapnya kepada VOA.
Meski begitu, Windhu mengingatkan pemerintah untuk tetap melakukan komunikasi publik yang baik kepada masyarakat. Artinya, masyarakat harus tetap diingatkan bahwa pandemi COVID-19 masih ada, dan belum hilang sehingga protokol kesehatan harus tetap dilakukan dan bahkan harus bisa menjadi bagian daripada gaya hidup ke depannya.
“Dengan PPKM dicabut semuanya boleh bebas? Bukan begitu. Yang bebasnya itu perjalanannya, dan sebagainya. PeduliLindungi harus tetap dipakai, itu harus menjadi sebuah platform yang dipakai untuk perlindungan. Kemudian masker, prokes tetap harus dilakukan dan itu butuh komunikasi publik yang baik. Jangan sampai masyarakat berpikir keliru bahwa COVID-19 sudah tidak ada,” tambahnya.
Selain itu, katanya, pemerintah mulai dari level pusat sampai daerah, harus tetap melakukan pengawasan terhadap berbagai kasus COVID-19. Menurutnya, ini harus tetap dilakukan karena status darurat kesehatan belum dicabut.
Sementara itu, Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman melihat keputusan pemerintah mencabut status PPKM lebih kepada pertimbangan ekonomis dan politiis.. Menurutnya, berbagai data yang dijabarkan oleh pemerintah terkait COVID-19 di Indonesia masih bisa diperdebatkan karena tingkat testing yang semakin rendah.
“Memang secara umum kita syukuri, akui situasi memang relatif melandai. Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apa strategi public health? Strategi kesehatan masyarakat apa yang mengantikan PPKM itu untuk memitigasi ancaman bukan hanya dari dalam negeri tetapi dari luar negeri yang artinya, karena 5 M dalam derajat yang lebih ringan tetap harus dilakukan karena pandemi masih ada. Ini yang harus segera dilakukan oleh pemerintah, karena bagaimana pun plus minusnya kalau saya melihat mencabut (PPKM) dalam konteks saat ini lebih banyak minusnya daripada plusnya,” ungkapnya kepada VOA.
Maka dari itu, menurutnya, pemerintah harus segera mencari solusi atau strategi lain untuk menghadapi pandemi COVID-19 yang masih ada sampai detik ini. Ia mengatakan, jangan sampai pencabutan status PPKM tersebut membuat lengah semua pihak baik dari pemerintah dan masyarakat.
“Tentunya di tengah kerawanan lain di tengah modal imunitas dari vaksinasi booster yang sangat rendah ini juga harus segera diantisipasi dengan mengejar cakupan vaksinasi booster itu,” pungkasnya. [VOA Indonesia/gi/ab]