Piala Dunia 2022 Qatar, Buktikan Agama dan Bola Bisa Menyatu

0

“Qatar ini bukan hanya mewakili dunia Arab, tapi mewakili dua miliar populasi muslim di seluruh dunia, termasuk mewakili kita di Indonesia. Ini memberikan pencitraan baru tentang Islam kepada seluruh dunia melalui perhelatan sepak bola,” ujar Ketua Umum Partai Gelora  Anis Matta, dalam dialog bertajuk ‘Qatar World Cup 2022, Diplomasi Islam & Bangkitnya Sepak Bola Asia, Jakarta, Rabu (30/11).

Menurut Anis Matta, sepak bola telah menyatukan seluruh umat manusia, tidak memandang apa agamanya dan rasnya. Hal ini bisa dilihat dari perhelatan Piala Dunia di Qatar saat ini, bahwa agama terbukti tidak memecah bola dan orang.

“Bagi kita di sini di Indonesia, di tengah polarisasi saat ini juga sangat penting, kita bisa melakukan seperti apa yang dilakukan Qatar. Polarisasi terjadi, karena agama dijadikan tembok, bukan jembatan,” kata Anis.

Indonesia yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 2023, kata Anis Matta, harus bisa dimanfaatkan pemerintah secara maksimal untuk mengakhiri polarisasi politik dan identitas yang mulai menguat lagi menjelang Pemilu 2024.

“Ini kan kita mendapat kesempatan jadi tuan rumah Piala Dunia tahun depan, meskipun untuk kelompok umur U-20. Harus bisa dimanfaatkan maksimal untuk mengakhiri polarisasi, bola dan agama bisa bersatu, bisa bercampur,” katanya.

Anis Matta juga berharap pemerintah bisa membuat visi atau peta jalan seperti Visi 2030 Qatar meliputi bidang media, telekomunikasi, olahraga, entertaiment dan pariwisata. Karena Qatar sadar betul bahwa sumber daya alam gas mereka suatu saat akan habis, sehingga dipersiapkan secara matang dan visi tersebut dilaksanakan secara disiplin.

“Lima sektor ini, mereka bikin investasi besar-besaran, semua tahapan visinya dilaksanakan dengan disiplin dan sistemik. Negaranya boleh kecil, tetapi otaknya besar. Visi atau peta jalan ini yang masih menjadi persoalan di kita,” ujarnya.

Visi Qatar 2030, dibuat ayah Amir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani, Sheik Hamad bin Khalifa al-Tsani. Selain membuat Visi tersebut, Sheik Hamad juga berani melakukan peralihan kekuasaan kepada Sheikh Tamim, anaknya yang saat itu usianya masih menginjak 31 tahun dan dianggap belum matang untuk melaksanakan visinya.

“Jadi melalui visi ini, Qatar bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Sehingga meskipun Qatar sebagai negara kecil, tetapi secara politik dan geopolitik dalam konteks global, ini luar biasa. Apalagi sebagai negara besar, Indonesia juga bisa berperan lebih dalam konteks geopolitik global,” katanya.

Indonesia bisa membuat peta jalan seperti Qatar dan tahapannya harus dilaksanakan secara disiplin dan masif. Peta jalan tersebut, di Partai Gelora dinamai sebagai Arah Baru Indonesia, yang menjadikan Indonesia sebagai lima besar kekuatan dunia.

“Makanya saya selalu mengulang-ulangi,  ‘Langit Kita Terlalu Tinggi, Tapi Kita Terbang Terlalu Rendah’. Karena disinilah kita perlu peta jalan tentang Arah Baru Indonesia. Mudah-mudahan Partai Gelora bisa memberi kejutan di Pemilu 2024,” tandasnya.

Sementara itu, Dubes RI untuk Qatar Ridwan Hassan, mengatakan, Piala Dunia 2022 hanya salah satu instrumen yang disiapkan Qatar untuk menampilkan wajah Islam rahmatan lil-alamin ke seluruh dunia.

“Pemerintah Qatar sudah merencanakan Ibu Kota Doha sebagai ibu kota olahraga dunia, tidak ingin hanya menjadi tuan rumah Piala Dunia saja. Sebab, karakter masyarakat Qatar itu  terbuka, tidak anti dengan warga asing dan bisa hidup berdampingan dengan berbagai latar belakang,” ujar Ridwan Hassan.

Karena itu, negara yang memiliki luas hanya 11.571 km² tersebut, penduduknya sebagian besar adalah orang asing dengan berbagai latar belakang dan keyakinan. Dari 2,7 juta jiwa jumlah penduduknya, masyarakat asli Qatar hanya sekitar 400 ribu jiwa saja.

“Interaksi masyarakat Qatar dengan warga asing yang berlatar belakang keyakinan sudah terjadi dari masa ke masa. Karakter Qatar yang Islami bisa diterima oleh keseharian masyarakat secara keseluruhan dan bisa berjalan seiring dengan kemajuan juga,” katanya.

Sehingga kehadiran penggemar bola yang datang ke Qatar menyaksikan perhelatan Piala Dunia 2022, melihat Islam dari sudut pandang yang berbeda, bukan seperti imajinasinya dimana agama seolah mengajarkan kekerasan.

“Mereka menyadari bahwasanya budaya Islam adalah budaya yang menghargai tamu. Contohnya soal larangan minum minuman keras di tempat umum. Meski begitu, Qatar sadar bahwa tidak semua penggemar sepak bola adalah muslim, sehingga disediakan tempat khusus untuk mengonsumsi minuman keras,” katanya.

Penggemar sepakbola yang datang ke Qatar pun akhirnya menghargai itu, sebagai upaya menghormati masyarakat non muslim. Sehingga ada saling menghormati dan saling menjaga adat-istiadat setempat.

“Untuk melakukan syiar Islam, Qatar juga menyediakan tempat sholat yang beragama Islam dan tempat ibadah non muslim di setiap stadion. Hal ini dianggap sesuatu yang luar biasa bagi non muslim, bagi orang muslim sendiri itu hal wajar. Mereka juga bisa menjalankan kewajiban keagamaan masing-masing,” katanya.

Islam di Qatar, lanjutnya, tidak dimaknai secara sempit dan tidak menutup diri dari warga nonmuslim semua bisa menikmati kehidupan yang sama. Bahkan ketika ada tamu, mereka diperlakukan senyaman mungkin.

“Itu yang membuat orang-orang yang datang dari berbagai belahan dunia melihat Islam berbeda, mereka melihat satu kenyataan dan kenyamanan di Qatar,” ujar Ridwan.

Pengamat sepak bola Sigit Nugroho mengatakan, melalui Piala Dunia 2022 ini, Qatar ingin mencitrakan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin. Karena itu, sejak dipilih menjadi tuan rumah pada 2010 lalu, Qatar membangun berbagai fasilitas mewah dan megah serta menyediakan konsep yang memadukan olahraga dan syiar Islam.

“Qatar ini ingin mencitrakan Islam yang baik. Cara dakwah seperti ini yang harus dilakukan umat Islam sekarang. Seperti juga yang dilakukan Mohamed Salah, pesepakbola asal Mesir yang bermain untuk Liverpool kerap melakukan selebrasi sujud saat mencetak gol. Selebrasi itu berhasil mengubah pemikiran rakyat Inggris terhadap Islam,” kata Sigit Nugroho.

Jika berbicara aturan Islam, menurutnya, Salah tidak mungkin dijadikan contoh atau panutan, karena kesehariannya mengenakan celana pendek, tidak menutup dengkul atau lututnya. Namun, apa yang dilakukan Salah itu sebagai salah satu dakwah terbaik diplomasi Islam.

“Perilaku Salah ini bisa menginspirasi orang-orang yang tadinya melihat Islam secara buruk, tiba-tiba bisa menjadi ‘oh ternyata Islam indah’, bukan sebagai agama yang keras dan mengajarkan terorisme. Apa yang dilakukan Salah itu, juga bagian dari dakwah,  dan melihat Islam sebagai agama penuh damai,” tutur Sigit yang juga seorang mualaf ini.(AKM-MNC Trijaya)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here